Senin, 22 Juni 2015

Ramadan adalah Festival?

Ilustrasi Suasana belanja di mal. Sumber: antaranews.com
Ramadan makna asalnya adalah membakar. Membakar sifat ketamakan, kerakusan terhadap dunia. Dibulan ini kita dituntut untuk “pause,” berhenti sejenak mengendalikan syahwat, mengerem keinginan dari segala hal yang haram dan halal sekalipun. Karena itu puasa ramadan bisa dikatakan sebagai zakat (pembersih) terhadap diri seseorang yang kotor setelah sebelas bulan menelan hal-hal yang tidak jelas kebersihan dan atau kehalalannya.

Mungkin ini ironis, ramadan yang pada awalnya adalah sebuah momen keagamaan yang bersifat ukhrawi (keakhiratan) berubah menjadi momen keduniawian yang kering. Dahulu ramadan adalah saat dimana bisa beribadah puasa dengan penuh kekhusu’an kini riuh dan bising dengan sura petasan. Ibadah ini sangat rahasia dan menuntut kejujuran yang tinggi bagi pelakunya. Ramadan penuh dengan nilai-nilai sosial. Kaya dan miskin saling menghargai. Antar tetangga saling berbagi. Saat ini ramadan penuh dengan riuh-semrawut berbelanja dan kesumpekan mencari jajanan. Konsumerisme yang terjadi di bulan ini dianggap sebagai bagian dari berkah ramadan. Dengan demikian ada yang menganggap sifat konsumtif dan foya-foya selama (malam) ramadan seolah boleh ditolerir. Puasa ramadan seolah dipersempit maknanya sebagai tindakan tidak makan, minum atau bersetubuh disiang hari. Padahal ramadan maknanya lebih luas lagi. Yakni menahan segala nafsu, menghilangkan kesia-siaan, pemborosan, senda-gurau dan sifat-sikap yang tidak bermanfaat.

Ritual keagamaan yang menyangkut orang banyak memang mudah diplesetkan untuk mengeruk keuntungan berlipat. Mudah melenceng dari tujuan dasarnya. Bagaimana mungkin ibadah puasa yang sisi sosialnya dimaksudkan untuk turut berempati atas apa yang dirasakan kaum papa, tiba-tiba berubah menjadi ibadah individual yang egois. Puasa hanya dianggap sebagai menahan makan dan minum, bukan menahan sikap boros, pamer dan serakah.
Ramadan juga adalah bulan perlombaan. Tidak hanya berlomba meraih pahala sebanyak-banyaknya, tetapi berlomba mencari keuntungan sebesar-besarnya. Televisi berlomba membuat acara bertema ramadan. Iklan tak kalah agresif memenfaatkan ramadan. Artis di bulan ini tiba-tiba mengubah penampilan. Seolah-olah semua artis menjadi muslim. Artis berpenampilan lebih nyantri daripada santri. Meskipun kita semua tahu hal itu cenderung artifisial, pencitraan. Budayawan Sudjiwo Tedjo pernah menulis dengan satire bahwa bulan ramadan adalah bulan artis. Ia menulis dengan judul Marhaban Ya Artis, bukan marhaban ya ramadan sebagaimana sering diucapkan banyak orang. Bulan ini menjadi bulan panen bagi para artis. Para penyanyi latah membuat album religi, walau tidak jelas konsepnya. Menyanyi dan berpenampilan religious walaupun sementara.

Saya tidak tahu apakah ramadan di negara lain seunik di negeri ini. Saat datang ramadan setiap orang, setiap keluarga, seperti sedang hajatan besar. Seperti halnya hajatan, biaya besar pun harus dipersiapkan jika acaranya mau lancar. Besarnya permintaan tersebut dimanfaatkan pihak lain untuk mencari untung sebanyak-banyaknya dari orang yang membutuhkan itu.

Barang-barang kebutuhan pokok menjelang dan saat ramadan harganya melompat tinggi dari biasanya. Di toko swalayan dan mal-mal pengusaha tidak takut barangnya tidak akan laku, maka banderol pun dinaikkan berlipat-lipat. “Diskon” besar-besaran dijadikan daya pikat. Seringkali antrian di kasir mal yang banyak jumlahnya lebih ramai daripada antrian di kantor pos untuk mengambil BLSM.

Selain kebutuhan perut, kebutuhan komunikasi pun tak bisa ditinggalkan. Sekadar untuk sms-an iseng, BBM-an, ngobrol tak jelas dan merisak di banyak jejaring sosial. Operator seluler pun menawarkan harga “murah” untuk berkirim pesan, bicara dan berinternet. Tawaran murah itulah yang kemudian membuat konsumen terbius menggunakan pulsa melebihi batas kebutuhannya. Misalnya seseorang (umumnya remaja) menghabiskan waktu dengan mengirimkan berpuluh-puluh pesan pendek karena mendapat “gratisan.” Atau menelpon sampai berjam-jam setiap hari. Mungkin karena banyak waktu luang dibulan ramadan, status di jejaring sosial pun nyaris tanpa jeda. Akhirnya jejaring sosial—seperti Facebook, Twitter, BBM, WhatsApp—menjadi sarana dan tempat memboroskan waktu dengan menulis-ngobrol di internet.

Televisi lebih agresif lagi. Mereka menyajikan tayangan dengan tema ramadan, entah berupa lawakan, pengajian, konser band, perlombaan dai atau mengaji dan tentu saja sinetron. Tentu saja dalam format festival; siaran langsung, glamour, senda-gurau dan banyak sponsor. Dengan kuasa media, seorang ustad dipaksa berkolaborasi dengan band. Berceramah sebentar kemudian diselingi nyanyian dan promosi produk. Penonton pun bersorak-sorak gembira, sebagian ikut bergoyang. Dibulan ramadan ini kita juga digempur dengan ketawa-ketiwi lawakan dan kuis-kuis bodoh juga diserang tangis-tangis sinetron berjilbab. Ditelevisi, ramadan telah jauh dari suasana kekhusyukan dan kesyahduan. Ramadan penuh dengan keriuhan, tawa dan gegap-gempita. Karena ramadan disini telah dijadikan ajang festival. [] Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar: