Kamis, 25 Juni 2015

Cara Shalat Tarawih Beda Bilangan Rakaat

 Ilustrasi shalat jamaah Sumber: acehtraffic.com

Memasuki bulan suci ramadan di masyarakat jamak terjadi perselisihan kapan waktu dimulainya berpuasa. Hal ini disebabkan cara atau metode penetapan awal bulan yang berbeda. Yang pertama menetapkan awal puasa dengan menggunakan metode hisab (hitungan matematis dan astronomis untu menentukan posisi bulan). Yang kedua menggunakan metode ru’yat, yakni mengamati keterlihatan hilal (bulan sabit kecil) yang nampak pertama kali setelah terjadi ijtimak atau konjungsi. Baik melalui penglihatan manual maupun dengan bantuan teleskop.

Secara sederhana dalam pandangan awam, metode pertama diwakili oleh “kubu” organisasi masyarakat (ormas) besar di Indonesia Muhammadiyah, sedangkan ormas Nahdlatul Ulama mewakili “kubu” metode kedua—yang juga diklaim sebagai “kubu” pemerintah.

Beda pandangan dan beda metode tersebut otomatis membawa perbedaan pula dalam penetapan waktu hari Idul Fitri-nya. Tak jarang waktu dimulainya puasa ramadan bersamaan, tetapi awal hari rayanya berbeda. Dan juga sebaliknya, dimulai berpuasanya berbeda tetapi Idul Fitri-nya bisa berbarengan. Termasuk juga dalam penetapan puasa sunah arafah dan hari raya Idul Adha. Adapun penetapan awal-awal bulan hijriyah yang lain umumnya tidak terlalu melahirkan perdebatan dan perselisihan.

Ternyata perselisihan di masyarakat tidak hanya berhenti dalam masalah penentuan awal waktu puasa wajib atau awal ramadan saja, masalah shalat sunah tarawih pun kerap melahirkan pergesekan,—khususnya bilangan rakaatnya. Sebagian melaksanakan dengan jumlah tarawih 20 rakaat plus 3 witir, sebagian pihak yang lain shalat tarawihnya 8 rakaat dan 3 witir. Jika kedua pihak yang berbeda cara tersebut shalat di masjid atau mushalla yang berbeda tentu tidak menjadi persoalan. Namun yang jadi persoalan bagimana ketika kedua pihak beda pandangan tersebut hanya memiliki dan tinggal di masjid atau mushalla yang sama? 


Tentulah diperlukan kearifan dan toleransi dari kedua belah pihak yang berbeda pandangan tersebut. Dan tulisan ini mencoba menawarkan solusi yang sederhana yang sudah banyak diterapkan di beberapa tempat.
Sebelum membahas tentang bagaimana menyatukan jamaah dalam tata cara shalat tarawih yang berbeda, terlebih dahulu dijelaskan tentang mana yang lebih utama (prioritas) antara menjaga persatuan, kebersamaan dan keutuhan jamaah dibandingkan dengan ego melaksanakan shalat tarawih dengan caranya masing-masing? Tentu sudah diketahui bersama bahwa melaksanakan shalat tarawih hukumnya sunnah muakkad (sunnah yang diutamakan), sedangkan menjaga persatuan umat adalah wajib. Inilah yang perlu disampaikan oleh para tokoh-tokoh agama pada jamaahnya sehingga mentoleransi perbedaan menjadi hal yang lumrah.

Dari pengalaman penulis ketika menuntut ilmu dan merantau, ternyata dua pihak beda pandangan tentang jumlah rakaat shalat tarawih bisa disatukan dan tak ada masalah yang berarti. Semuanya berjalan harmonis selama bertahun tahun. Kunci utamanya adalah tidak mengubah cara yang memang sudah menjadi kebiasaan di daerah tersebut.

Jika imam dan mayoritas jamaah di suatu masjid melaksanakan tarawih dengan 20 rakaat, maka yang berpandangan tarawih 8 rakaat bisa mengikutinya menjadi makmum. Setelah sampai rakaat ke-8 bisa berhenti dan mundur kebelakang untuk menunggu shalat witirnya. Atau boleh juga pulang dan melaksanakan witir di rumah masing-masing.

Sedangkan bila sebagian besar jamaah di tempat tersebut melakanakan tarawih 8 rakaat saja, jamaah yang berkepercayaan tarawih 20 rakaat bisa menambahkannya yang 12 rakaat di rumah atau di masjid tersebut setelah jamaah yang 8 rakaat selesai. Ada juga di suatu masjid yang sudah toleran. Ketika 8 rakaat selesai, imam mempersilahkan imam yang lain untuk memimpin pelaksanaan tarawih hingga rakaat yang ke-20, sedangkan shalat witirnya dilakukan bersama-sama oleh kedua pihak.

Begitulah cara yang bisa diterapkan di satu masjid tetapi jamaahnya berbeda pandangan dan cara dalam melaksanakan shalat tarawih dan witir. Jadi semuanya bisa beribadah dengan rukun dan tenang tanpa harus membuat tempat ibadah yang baru. Jika kedua belah pihak beribadah hanya mengharap ridha Allah SWT mudah-mudahan semua bisa saling tenggang rasa dan hormat menghormati, tetapi jika ibadahnya diniatkan yang lain atau hanya ingin pamer pengaruh dan kuasa, tentu toleransi beribadah sukar untuk diwujudkan.
Wallahua’lam bis-shawab.

Tidak ada komentar: