![]() |
Ilustrasi shalat jamaah Sumber: acehtraffic.com |
Memasuki bulan suci ramadan di masyarakat jamak terjadi perselisihan
kapan waktu dimulainya berpuasa. Hal ini disebabkan cara atau metode penetapan
awal bulan yang berbeda. Yang pertama menetapkan awal puasa dengan menggunakan metode
hisab (hitungan matematis dan astronomis untu menentukan posisi bulan).
Yang kedua menggunakan metode ru’yat, yakni mengamati keterlihatan hilal
(bulan sabit kecil) yang nampak pertama kali setelah terjadi ijtimak atau
konjungsi. Baik melalui penglihatan manual maupun dengan bantuan teleskop.
Secara sederhana dalam pandangan awam, metode pertama
diwakili oleh “kubu” organisasi masyarakat (ormas) besar di Indonesia Muhammadiyah,
sedangkan ormas Nahdlatul Ulama mewakili “kubu” metode kedua—yang juga diklaim
sebagai “kubu” pemerintah.
Beda pandangan dan beda metode tersebut otomatis membawa
perbedaan pula dalam penetapan waktu hari Idul Fitri-nya. Tak jarang waktu
dimulainya puasa ramadan bersamaan, tetapi awal hari rayanya berbeda. Dan juga
sebaliknya, dimulai berpuasanya berbeda tetapi Idul Fitri-nya bisa berbarengan.
Termasuk juga dalam penetapan puasa sunah arafah dan hari raya Idul Adha. Adapun
penetapan awal-awal bulan hijriyah yang lain umumnya tidak terlalu melahirkan
perdebatan dan perselisihan.
Ternyata perselisihan di masyarakat tidak hanya berhenti dalam
masalah penentuan awal waktu puasa wajib atau awal ramadan saja, masalah shalat
sunah tarawih pun kerap melahirkan pergesekan,—khususnya bilangan rakaatnya. Sebagian
melaksanakan dengan jumlah tarawih 20 rakaat plus 3 witir, sebagian pihak yang
lain shalat tarawihnya 8 rakaat dan 3 witir. Jika kedua pihak yang berbeda cara
tersebut shalat di masjid atau mushalla yang berbeda tentu tidak menjadi
persoalan. Namun yang jadi persoalan bagimana ketika kedua pihak beda pandangan
tersebut hanya memiliki dan tinggal di masjid atau mushalla yang sama?
Tentulah
diperlukan kearifan dan toleransi dari kedua belah pihak yang berbeda pandangan
tersebut. Dan tulisan ini mencoba menawarkan solusi yang sederhana yang sudah
banyak diterapkan di beberapa tempat.
Sebelum membahas tentang bagaimana menyatukan jamaah dalam
tata cara shalat tarawih yang berbeda, terlebih dahulu dijelaskan tentang mana
yang lebih utama (prioritas) antara menjaga persatuan, kebersamaan dan keutuhan
jamaah dibandingkan dengan ego melaksanakan shalat tarawih dengan caranya
masing-masing? Tentu sudah diketahui bersama bahwa melaksanakan shalat tarawih hukumnya
sunnah muakkad (sunnah yang diutamakan), sedangkan menjaga persatuan umat
adalah wajib. Inilah yang perlu disampaikan oleh para tokoh-tokoh agama pada
jamaahnya sehingga mentoleransi perbedaan menjadi hal yang lumrah.
Dari pengalaman penulis ketika menuntut ilmu dan merantau,
ternyata dua pihak beda pandangan tentang jumlah rakaat shalat tarawih bisa disatukan
dan tak ada masalah yang berarti. Semuanya berjalan harmonis selama bertahun
tahun. Kunci utamanya adalah tidak mengubah cara yang memang sudah menjadi kebiasaan
di daerah tersebut.
Jika imam dan mayoritas jamaah di suatu masjid melaksanakan tarawih
dengan 20 rakaat, maka yang berpandangan tarawih 8 rakaat bisa mengikutinya
menjadi makmum. Setelah sampai rakaat ke-8 bisa berhenti dan mundur kebelakang
untuk menunggu shalat witirnya. Atau boleh juga pulang dan melaksanakan witir
di rumah masing-masing.
Sedangkan bila sebagian besar jamaah di tempat tersebut
melakanakan tarawih 8 rakaat saja, jamaah yang berkepercayaan tarawih 20 rakaat
bisa menambahkannya yang 12 rakaat di rumah atau di masjid tersebut setelah
jamaah yang 8 rakaat selesai. Ada juga di suatu masjid yang sudah toleran. Ketika
8 rakaat selesai, imam mempersilahkan imam yang lain untuk memimpin pelaksanaan
tarawih hingga rakaat yang ke-20, sedangkan shalat witirnya dilakukan
bersama-sama oleh kedua pihak.
Begitulah cara yang bisa diterapkan di satu masjid tetapi
jamaahnya berbeda pandangan dan cara dalam melaksanakan shalat tarawih dan
witir. Jadi semuanya bisa beribadah dengan rukun dan tenang tanpa harus membuat
tempat ibadah yang baru. Jika kedua belah pihak beribadah hanya mengharap ridha
Allah SWT mudah-mudahan semua bisa saling tenggang rasa dan hormat menghormati,
tetapi jika ibadahnya diniatkan yang lain atau hanya ingin pamer pengaruh dan
kuasa, tentu toleransi beribadah sukar untuk diwujudkan.
Wallahua’lam bis-shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar