Senin, 27 April 2009

Buku (Apa) yang Kita Baca?


SEORANG teman—perempuan—pernah beberapa kali memintaku untuk menyebutkan sebuah judul buku yang aku suka, atau menyebutkan buku yang menurutku sebaiknya dia baca. Kemudian dia berjanji akan membacanya atau sekaligus membelinya jika punya uang. Karena tampaknya dia ingin berdiskusi denganku maka aku menyarankan saja untuk membeli buku yang sudah kumiliki, jadi tidak akan merepotkan jika harus berdiskusi dengannya. Karena aku dan dia (telah) membaca buku yang sama. Aku pikir-pikir rupanya aku disuruhnya untuk mengetes kemampuannya. Mungkian dia mau sedikit menyombongkan kehebatan daya ingatnya padaku, ini sih cuma pikiranku saja. So, aku suruh dia untuk mencari buku “Jejak Posmodernisme di Indonesia” karya Radhar Panca Dahana.

Beberapa hari kemudian…


Ah, ternyata si teman ini pusing juga katanya buku tentang posmodern itu. Lalu dia meminta aku menyebutkan buku yang lain lagi. Lagi-lagi aku menyebutkan buku yang aku punya. Lalu aku menyebutkan buku “Anak-Anak Gang Buntu No. 1”-nya Eve Garnet dan tulisannnya Susanna Tamaro, “(Va Dove ti Porta il Coure (Pergilah Kemana hati Membawamu)”. Terakhir aku menyebutkan juga judul buku “Gone with the Wind”, Alexandra Ripley. Padahal buku yang terakhir ini aku tidak punya, tapi si temanku yang perempuan itu ternyata bisa membeli novel tebal itu yang harganya lumayan mahal menurutku, 125. 000 waktu itu. Singkat cerita akhirnya kami tidak jadi berdiskusi serius, karena buku yang kami baca tersebut semuanya fiksi. Kecuali menikmatinya saja, seperti menikmati sepotong kue, cukup dinikmati, dirasakan dan tak perlu didiskusikan.

===

Sepenggal cerita antara aku dan temanku di atas membuatku berpikir, buku apa sih yang seharusnya kita baca dan atau kita beli? Ya, buku apa? Aku pernah mendengar seorang penulis menganjurkan, “…Bacalah semua buku yang menarik minatmu.” Ada yang mengatakan, “Bacalah buku yang ‘luar biasa’ saja.” Maksudnya yang “luar biasa” itu yang kontroversial atau yang banyak mempengaruhi banyak orang.

Nasihat atau anjuran semacam itu barangkali sama benarnya, sama-sama perintah untuk membaca buku. Tapi konteks dan subyek (calon) pembaca mungkin yang harus dilihat ketika ingin menganjurkan seseorang untuk membaca buku. Seperti ketika seseorang yang baru mulai tertarik membaca, maka adalah tepat mengatakan “bacalah yang menarik minatmu.” Karena bila sudah terbiasa membaca buku yang menarik menurutnya, maka lama-kelamaan pasti akan tertarik ke buku-buku yang lain. Membaca buku yang sesuai dengan bidang yang kita tekuni juga tepat, agar kita menjadi profesional dalam bidang kita. Jika seseorang sudah banyak membaca bahkan mengoleksi buku-buku, menganjurkan membaca buku yang “mengguncang” saja juga sama tepatnya. Dengan demikian membaca juga perlu tingkatan-tingkatan. Tetapi bagi seseorang yang ingin mengadakan lompatan- lompatan dalam membaca pun tidak ada salahnya.

Membaca dan menulis adalah sebuah personal account, demikian Azyumardi Azra memaparkan kesannya dalam (buku) “Bukuku Kakiku,” terbitan Kompas-Gramedia. “Membaca buku itu penting agar kita tidak beku”, Lies Marcoes Natsir berkomentar. Pernyataan kedua tokoh itu intinya mengambarkan pentingnya membaca. Sekarang kembali lagi, buku apa yang perlu kita baca? Kalau saya ditanya, tentu akan menjawab: kalau bisa semuanya dibaca. Tapi pertanyaan lainnya, cukupkah waktu kita untuk membaca semua buku? Atau cukup punya uangkah kita untuk membeli banyak buku? Rasanya kok tidak. Maka kita harus selektif dalam membaca buku. Ini bukan berarti membatasi materi apa yang boleh dan tidak boleh untuk dibaca, tapi pada fisik buku itu sendiri yang harus diseleksi. Pengalaman saya membaca dan mengamati buku, sepertinya kok buku-buku sekarang (tentu di tanah air) hampir punya materi (isi) yang sama, hampir seragam. Entah itu buku sosial, politik, agama apalagi sastra (novel dan cerpen). Buku sastra, yang kini sedang tren dan menghiasi rak dan etalase toko buku, hampir mempunyai tren yang sama. Buku sastra menjadi semcam leafleat bagi industri buku untuk keuntungan sesaat. Saat Dewi “Dee” Lestari meluncurkan karya perdananya, Supernova; Putri, Kesatria dan Bintang Jatuh, kemudian menjadi bestseller. Tidak lama kemudian pengarang-pengarang dan penerbit-penerbit lain meluncurkan buku sastra yang tema atau gayanya menyerupai. Atau saat novel sastra dengan tema “(estetisme) seks”, “sastra madzhab seks—SMS” yang ditulis pengarang perempuan—seperti Djenar Maesa Ayu, Ayu Utami—buku buku sejenis pun berserakan ditulis oleh para perempuan. Lahirlah kemudian istilah “sastra wangi”. Istilah untuk menggambarkan sastra yang ditulis oleh perempuan muda, cantik dan rapi—walaupun isinya biasa saja. Lihat juga ketika novel Ayat Ayat Cinta-nya Habiburrahman Al-Shirazy menjadi fenomenal, berapa banyak novel sejenis yang menjamur. Yang juga menjengkelkan, mengapa novel sejenis itu harus memakai judul yang ada kata-kata cintanya. Seperti tidak ada kosa kata lain saja.

Buku-buku keislaman pun tidak lepas dari sindrom ini. Penulisnya berbeda, pemikiran yang diusung sama. Inilah yang oleh Ulil Abshar Abdalla disebut sebagai gejala ”novelisme pemikiran.” Jadi pemikiran tentang keislaman menjadi semacam mode yang selalu dikejar. Dan ketika pemikiran telah kadaluarsa (out of update), maka lama-lama ditinggalkan. Semula publik memuja dan mengelu-elukan Hasssan Hanafi dengan Islam Kiri-nya (al-Yasar al-Islamy). Lalu pindah ke Dekonstruksi Syari’ah-nya Abdullah An-Naim. Bergeser lagi tren-nya ke Abid Al-Jabiri, Mohammed Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd dan seterusnya. Belum lagi buku-buku ”komentar” tentang pemikiran-pemikiran di atas. Selektif dalam membaca buku seperti inilah yang saya maksudkan. Kita perlu membaca (kalau mau) buku Al-Yasar Al-Islamy-nya Hassan Hanafi, Dekonstruksi Syari’ah-nya An-Naim atau Post-Tradisionalisme-nya Al-Jabiri. Tetapi buku-buku sejenis yang mengusung tema yang sama, apalagi ”buku komentar” saya rasa tidak perlu dibaca (semua). Lebih baik baca yang ”original” saja. Terkecuali buku yang aslinya atau terjemahannya tidak ada, baru buku komentarnya bisa kita telaah lagi.

Buku-buku terjemahan asal luar negeri—yang menjadi buku mayoritas di negeri kita—pun perlu kita cermati. Karena ada semacam propaganda dari penerbit sebagai pemegang lisensi penerjemahan untuk memanfaatkan ketidaktahuan pembaca. Dengan gampangnya penerbit ini menempelkan kata bestseller (versi apa atau siapa gitu…). Kita tentu tidak selalu tahu apakah memang di luar negeri buku tersebut menjadi bestseller. Andaipun benar bestseller, kita juga harus ingat, kebutuhan dan gaya orang di luar negeri, terhadap sebuah buku khususnya, berbeda dengan di negara kita. Mereka di negara yang sudah maju umumnya ada kecenderungan pragmatis. Sehingga mereka juga cenderung membaca buku yang memang menunjang kehidupan mereka. So, kita tidak harus terkecoh dengan logo bestseller tersebut. Dan seringkali buku yang katanya bestseller itu ternyata isinya biasa-biasa saja, jadi untuk apa kita harus membacanya, apalagi membelinya. Apalagi kita juga kurang berminat.

Kadang-kadang buku yang ”biasa” malah memberikan pencerahan bagi kita. Kita mendapat inspirasi juga pengetahuan dari sisi yang tidak kita bayangkan sebelumnya. Adalah Syamsul Anwar Harahap, mantan petinju nasional, yang mendapat cerita dari majalah ’Dunia Wanita’ yang dibacakan ibunya. Dalam majalah tersebut memuat artikel tentang kesuksesan palari jarak pendek putri dari Amerika (bernama Wilma Rudolf) yang berhasil medali emas pada olimpiade 1960 di Roma. Wilma pada mulanya adalah seorang anak cacat yang menderita kelumpuhan pada kaki kanannya akibat polio. Syamsul yang pada masa kecilnya juga menderita kelumpuhan pada tangan kanannya terinspirasi dari bacaan tersebut. Ia selalu teringat kesuksesan Wilma, maka ia pun bertekad bisa berprestasi seperti dirinya. Maka kemudian inspirasi itu membawa semangat kepadanya untuk menjadi petinju legendaris nasional. Banyak lagi orang-orang yang terinspirasi dari majah maupun buku-buku “biasa.”

Ada juga seseorang yang membaca buku begitu fanatik terhadap pengarangnya. Padahal tidak semua hasil karya pengarang ”hebat” bukunya juga selalu hebat. Magnum opus pengarang biasanya cuma satu saja. Ada juga yang menganggap sebuah penerbit tertentu yang produknya bestseller atau mendapat penghargaan, buku-buku cetakannya yang lain akan sama baiknya. Belum tentu. Maka kita tidak harus fanatik dengan pengarang atau penerbit tertentu saja. Membaca buku yang hebat adalah bagus, membaca buku sesuai bidangmu pun baik, dan membaca buku yang menarik minatmu itu juga harus. Jadi selamat membaca saja!

© Amirul Huda

Tidak ada komentar: