Jumat, 23 Agustus 2019

Mengambil Pelajaran Taqwa dari Ibrahim dan Ismail

findshepherd
BULAN Dzulhijjah—seperti sekarang ini—adalah salah satu bulan yang sangat istimewa. Karena di dalam Dzulhijjah ada peristiwa atau ibadah besar yang waktu pelaksanaannya sangat khusus, yakni ibadah haji dan ibadah kurban. Maka beruntunglah orang yang tahun ini bisa berhaji dan atau berkurban. Kita doakan agar saudara kita yang telah melaksanakan haji tahun ini, selalu dalam keadaan sehat wal-afiat, bisa pulang dengan selamat dan mendapat predikat haji mabrur, haji yang diterima. Kita yang belum bisa dan belum pernah berhaji, mudah-mudahan suatu saat bisa memenuhi panggilan Allah, pergi ke baitullah. Amiin. (Hari ini sebagian jamaah sudah pulang ke tanah air).

Orang-orang yang saat ini sedang berhaji sesungguhnya mereka setara dengan sedang berjihad, karena mereka meninggalkan keluarga, harta, kedudukannya dalam rangka memenuhi panggilan Allah. Apabila Allah berkehendak mencabut nyawanya di tanah suci, maka mereka tidak akan kembali dan bertemu dengan saudara yang ditinggalkan.

Bicara tentang haji tentu tidak lepas dengan hari raya idul adha, dan membicarakan idul adha tentunya juga tidak lepas dari kisah Nabi Ibrahim as. dan Nabi Ismail as. Kisah bapak-anak ini menjadi suri tauladan bagi kita semua dalam banyak hal, terutama dalam hal ketaatan dan kepasrahan diri kepada Allah SWT, kesabaran dan keikhlasan beribadah, serta dalam menjalani hidup dan kehidupan ini yang diridhai Allah.


Nabi Ibrahim AS adalah seorang ayah sekaligus seorang hamba Allah yang lurus, berhati lembut, penyantun dan penuh dengan teladan kepemimpinan. Sedangkan sang anak, Nabi Ismail AS, adalah seorang anak yang sabar yang berbakti kepada kedua orang tua dan juga taat kepada Allah SWT. Dari Ibrahim dan Ismail kita bisa banyak belajar tentang ketaqwaan, kepasrahan dan juga keikhlasan. Kita tahu bahwa Nabi Ibrahim AS menikah dengan Siti Sarah sudah sangat lama, puluhan tahun namun belum dikaruniai seorang anak pun. Padahal beliau telah lama mengidamkan hadirnya seorang anak. Karena lamanya tidak mempunyai keturunan, sementara Siti Sarah tahu Ibrahim sudah sangat lama menginginkan keturunan, maka kemudian Siti Sarah Nabi Ibrahim mempersilakan untuk menikah lagi dengan Siti Hajar yang tak lain adalah seorang pembatu mereka. Dan akhirnya dari pernikahan dengan ibunda Hajar, beliau mendapatkan seorang anak yang diberinya nama Ismail.

Sebagai orang tua yang sudah lama mengidam-idamkan seorang anak, sudah pasti kehadiran Ismail membuat Ibrahim merasa senang dan tenang bersama sang buah hatinya. Hadirnya Ismail semakin menambah kebahagiaan, ketentraman dan kedamaian rumah tangganya. Apalagi Ismail adalah seorang anak yang tampan, pintar, shaleh dan berbakti kepada orang tua. Tetapi kebahagiaan Ibrahim dengan Ismail tidak lama, karena Allah menguji keimanan mereka dengan isyarat mimpi bahwa Ibrahim diperintahkan untuk menyembelih anak satu-satunya itu, anak sudah lama ia idamkan. Ibrahim pun menyadari bahwa itu bukan mimpi biasa, melainkan perintah dari Allah SWT.

Bisa kita bayangkan ujian yang diberikan Allah SWT kepada Ibrahim. Anak satu-satunya yang telah puluhan tahun beliau nantikan kehadirannya—hingga usia beliau hampir 100 tahun—pada akhirnya harus dikorbankan atas perintah Allah dengan cara disembelihnya sendiri. (Waktu itu Ishaq belum lahir). Coba kalau ujian itu diberikan kepada kita, bisakah atau mampukah kita menerimanya. Kita sudah bertahun-tahun mengidam-idamkan anak, ketika kemudian kita diberikan anak, jangankan disembelih, diasuh orang lain pun pasti tidak kita izinkan. Tetapi bagaimanakah sikap Nabi Ibrahim ketika diperintahkan Allah untuk menyembelih anaknya? Nabi Ibrahim adalah seorang rasul yang keimanannya sangat tinggi, yang mudah memahami dan menerima apapun yang Allah perintahkan. Beliau tidak pernah melakukan protes atau mencoba bertanya kepada Allah untuk meminta klarifikasi. Misalnya dengan bertanya, ”Kenapa ya Allah, harus saya sembelih anak tunggal saya ini?” Ketika diperintahkan meninggalkan istri dan ismail yang masih bayi, Ibrahim pun melaksanakan. Yang kemudian terciptalah sumur zam-zam. Ketika diperintahkan membangun Ka’bah, ia pun melaksanakannya, padahal saat itu di sekitarnya masih sangat tandus dan sepi, tidak ada orang lain. Sekarang semua perintah Allah terungkap kebenaran dan hikmahnya. Ka’bah, khususnya, dan kota Makkah pada umumnya menjadi pusat ibadah semua umat Islam dan ramai dikunjungi umat Islam dari seluruh penjuru dunia.

Intinya bahwa, apapun perintah Allah tidak ada keraguan apalagi penolakan dari Ibrahim as. Yang ada pada Nabi Ibrahim as. adalah kepasrahan dan penerimaan total, keridhaan yang mendalam, ketenangan dan kedamaian yang luar biasa. Itulah sebabnya Nabi Ibahim as mendapat berbagai macam gelar seperti: ulul azmi (orang yang sangat sabar), khalilullah (kekasih Allah), hanifan muslima (orang yang lurus yang berserah diri kepada Allah SWT) , abul anbiya (bapak para nabi), dan sebagainya.

Pelajaran lain yang bisa kita petik dari Ibrahim adalah pentingnya komunikasi atau musyawarah didalam keluarga. Dikisahkan dalam QS Ash-Shaffat: 102, sebelum menyembelih Ismail, Nabi Ibrahim sebagai orang tua bertanya kepada Ismail bagaimana pendapatnya tentang perintah tersebut:
يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ
"Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu”.
فَانظُرْ مَاذَا تَرَى
“Maka pikirkan, apa pendapatmu tentang perintah itu”.
Mendapat pentanyaan Ibrahim, Ismail menjawab dengan jawaban yang sangat bagus, penuh kesabaran dan keikhlasan. Kata Ismail:
يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
"Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar".
Pertanyaan Nabi Ibrahim dan jawaban Ismail ini sebenarnya mengandung pelajaran berharga bahwa sebagai orang tua akan sangat bagus kalau kita memberikan hak bertanya dan mengemukakan pendapat serta bertukar pikiran dengan anak-anak kita berkaitan dengan masa depan mereka. Apalagi menyangkut soal hidup dan mati. Dengan kata lain, ini sesungguhnya musyawarah dalam keluarga untuk mencapai pandangan yang sama sangat diperlukan untuk meraih tujuan yang baik. Dengan musyawarah seperti itu, anggota keluarga akan bisa paham, menerima dengan ikhlas sebuah keputusan, karena keputusannya dicapai atau disepakati dengan baik secara bermusyawarah.
Sesungguhnya apapun perintah Allah sebenarnya untuk kebaikan kita, untuk kebaikan manusia. Terkadang perintah Allah ada yang sekilas seperti memberatkan dan bertentangan dengan rasionalitas kita. Seperti perintah Allah yang memerintahkan Ibrahim menyembelih Ismail. Hal ini sebenarnya Allah swt hanya menghendaki ketundukan dan penyerahan diri Nabi Ibrahim As, sehingga tiada lagi tersisa dalam diri beliau kecuali ketaatan kepada Allah. Nabi Ibrahim pun meyakini tidak ada perintah yang lebih berharga dan lebih tinggi daripada perintah Allah SWT. Nabi Ibrahim rela mengorbankan segalanya, termasuk yang paling berharga, yakni Ismail dengan pengorbanan yang penuh keridhaan dan keyakinan. Maka, Allah kemudian menebus putranya itu, Ismail–dengan seekor hewan sembelihan yang besar.
Dari peristiwa penyembelihan Ismail inilah kemudian kita sangat disunnahkan (sunah muakkad) untuk bisa berkurban pada bulan Dzulhijjah, tangal 10 sampai 3 hari tasyrik. Disembelihnya hewan-hewan kurban selain menjadi pengingat bagi kita atas kejadian besar tersebut juga agar kita semakin taat kepada Allah dengan ketaatan yang penuh keridhaan, yang tujuan akhirnya adalah untuk meraih ketaqwaan.
Dalam ibadah kurban sejatinya kita hanya diperintahkan menyembelih hewan secara fisik, tetapi juga menyembelih sifat-sifat hewani yang melekat pada diri kita. Dan yang juga tersirat kita diperintahkan ibadah kurban adalah supaya kita mensyukuri nikmat yang telah begitu banyak diberikan oleh Allah swt.
انّا اعطينك الكوثر. فصل لربّك وانحر.
Sungguh, Kami telah memberimu (Muhammad) nikmat yang banyak. Maka laksanakanlah shalat karena Tuhanmu dan berkurbanlah. (Alkautsar: 1-2).
Semoga mereka yang tahun ini bisa berkurban, kurbannya diterima oleh Allah dan bertambah rizkinya dan bertabah ketaqwaannya. Dan kita yang belum bisa berkurban mudah-mudahan diberi kemudahan rizki sehingga bisa berkurban ditahun depan. Amin ya rabbal 'alamin.


Tidak ada komentar: