Rabu, 21 Agustus 2019

Menimba Air Kebijaksanaan Gus Mus


MUSTOFA Bisri (biasa disebut Gus Mus) adalah bagian dari orang yang sedikit. Ia ulama, cendikiawan, budayawan, pernah jadi politisi, mengasuh pesantren, mubaligh, Kiai dan sederet gelar lainnya. Ulama banyak, tapi yang ulama sekaligus budayawan sedikit sekali. Penyair banyak, tetapi penyair yang sekaligus ulama langka. Sebagai budayawan ia mahir bersyair, membuat puisi, cerpen dan melukis. Budayawan di negeri ini melimpah, tetapi yang menguasai—minimal bisa membaca—referensi syair-syair atau sastra  berbahasa Arab, sekli lagi, sedikit sekali.

Gus Mus adalah pribadi yang langka. Sebagai Kiai pesantren tentu saja ia tidak hanya menguasai ilmu-ilmu agama dan sosial, tetapi bisa menyampaikan ilmunya disemua kalangan. Tidak hanya di kalangan santri, dikalangan non-santri pun ia terbiasa berbicara dengan luwes. Tidak hanya dikalangan “wong alit”, dikalangan “wong elit” pun bisa. Satu lagi mengapa ia adalah sosok yang langka adalah ia ulama yang bisa menulis. Karya-karyanya menyeba dipelbagai media daerah dan nasional. Sehingga orang yang bukan santrinya—seperti saya—bisa mendapatkan tetes ilmu walaupun tidak bertatap muka. Ditambah lagi sekarang ia aktif di media sosial Facebook dan Twitter, juga ada kanal Yuutube “Gus Mus Channel” yang berisi ceramah, diskusi dan pengajian kitab kuning online. Itulah Gus Mus.

Diantara tulisannya yang tersebar dan telah dibundel adalah Buku Pesan Islam Sehari-Hari yang diterbitkan Diva Press. Buku ini berisi racikan renungan, gagasan, informasi dan realitas yang berkembang di tengah masyarakat. Keseluruhannya ada 56 kolom. Sebagaian besar ditulis pada periode 90-an dan sedikit ditahun akhir 80-an. Walaupun ditulis sudah cukup lama, sampai kini namun belum kehilangan relevansinya. Karena ternyata realitas yang ditulis Gus Mus saat ini masih banyak kita jumpai saat ini di sekitar kita. Cerita dan permasalahanya sama , hanya aktor atau subyeknya dan tempatnya saja yang mungkin berbeda.

Buku kumpulan tulisan Kiai kelahiran Rembang, Jawa Tengah ini dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama dengan tema Fenomena Kekuasaan, Kehidupan dan Politik. Bagian kedua, Perilaku Kiai dan Perilaku Umat. Dan bagian terakhir berkaitan denga Allah, Nabi dan Makna Ibadat.

Bagi yang sudah mengenal sosok Gus Mus, tentu mudah memahami cara berpikir, cara berbicara, cara melihat persoalan di masyarakat dan “tawaran” penyelesaiannya.  Gus Mus adalah sosok yang sejuk, toleran, humoris, bisa menjelaskan persolan rumit dengan sederhana, tidak gampang menyalahkan dan tidak merasa paling benar. Buku setebal 336 halaman ini kira-kira mengambarkan seperti Gus Mus, ada yang ringan, .ada yang jenaka, ada yang mendalam, ada yang memberikan solusi ada juga yang sekadar mengajak kita berpikir untuk selanjutnya kita sendiri yang menyimpulkan. Dan yang pasti tulisan Gus Mus dalam melihat persoalan di sekitar  kita tidak akan lepas dari sentuhan agama. Maklum dia Kiai. Tetapi sentuhan agama yang Gus Mus lakukan tidak kaku dengan dalil tekstulis, tetapi bisa juga dengan menjelaskan dalil-dalil aqli mudah dicerna.

Membaca tulisan-tulisan Gus Mus di buku ini kita seperti sedang relaksasi di taman bunga. Berkunjung ke taman adalah sesuatu yang sederhana. Di teman rasa kita menjadi riang, pikiran menjadi jernih, sebagimana kejernihan Gus Mus dalam memotret persoalan umat di sekitarnya. Kiai-Ulama yang menggendong setumpuk ilmu dan pengalaman saja masih berendah hati tidak merasa paling bisa, paling benar, bahkan sering marasa bodoh, maka kita pun harus demikian, bahkan harus merasa lebih bodoh lagi. Dengan menyadari kebodohan maka kita akan terus belajar. Dengan terus belajar dan membaca kebijaksaan akan tercipta.[]

Tidak ada komentar: