![]() |
Ilustrasi orang beri'tikaf sidomi.com |
I’TIKAF asal katanya adalah akafa, yang berarti
menetap, mengurung diri atau terhalangi. Sedangkan i’tikaf menurut istilah
yaitu berdiam diri di masjid dengan niat tertentu dan cara tertentu. Tentu saja
niat untuk beribadah dan mendekatkan diri pada Allah subhanahu wata’ala.
Orang banyak membicarakan i’tikaf biasanya ketika memasuki bulan
Ramadan, khususnya disepuluh hari terakhir seperti saat ini. Padahal dari
definisi dan pengertian i’tikaf sama sekali tidak secara ekslusif menyiratkan
hanya berlaku di bulan Ramadan. Menurut Dr. Miftah Faridh, dari sisi waktu
ibadah i’tikaf itu netral. Berarti dapat dilakukan kapan saja, tidak hanya
dibulan Ramadan tetapi juga bisa dibulan-bulan lain. (Beberapa ustadz di
kampung juga sering menganjurkan untuk berangkat jumatan lebih cepat dan sesampainya
di masjid diniatkan untuk i’ikaf sambil menunggu khatib naik mimbar). Sedangkan
dari sisi tempat i’tikaf, terdapat perbedaan para ulama dan cendikiawan muslim.
Tulisan ini mencoba sedikit membedah kembali tentang i’tikaf, sekadar untuk
saling belajar dan mengingatkan kembali pelajaran-pelajaran fikih lama.
I’tikaf disebutkan di dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah: 187,
yang artinya, “...Janganlah kalian melakukan hubungan suami-istri ketika
kalian sedang i’tikaf di masjid.” Sedangkan salah satu hadits yang
membicarakan tentang i’tikaf adalah hadits dari Aisyah ra. Yaitu “...Nabi
shalllahu a’laihi wasallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir
bulan Ramadan. Aku membuatkan tenda untuk beliau. Lalu beliau shalat shubuh
kemudian masuk ke tenda i’tikafnya. (HR. Bukhari dan Muslim). Inilah yang
kemudian dijadikan dalil ibadah i’tikaf dan menjadikannya seolah-olah hanya ada
di bulan Ramadan.
Syarat
dan Rukun I’tikaf
Tidak jauh berbeda dengan ibadah-ibadah lain, syarat untuk melakukan
i’tikaf yaitu; Islam, berniat i’tikaf, baligh atau dewasa, berakal, suci dari
hadats dan ditambahkan dilakukan di dalam masjid.
Rukun dari i’tikaf adalah niat dan berdiam diri di masjid sebagimana
tersurat dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 187.
Sedangkan yang membatalkan i’tikaf yaitu murtad, keluar dari masjid
tanpa keperluan, berhadats besar (haid dan nifas), gila atau mabuk dan
melakukan hubungan biologis dan atau bercumbu rayu.
Orang yang beri’tikaf masih diperbolehkan untuk berbicara dan keluar
masjid karena kebutuhan yang mendesak. Juga diperbolehkan untuk makan, minum,
tidur, berwudhu serta bermuamalah di masjid, tetapi dilarang untuk jual beli.
Berbicara terlalu banyak atau melakukan perbuatan yang tidak bermanfaat
serta tidak mau berbicara sama sekali merupakan perbuatan yang dimakruhkan
ketika i’tikaf.
Tentang syarat rukun i’tikaf harus di masjid, ada dua pendapat ulama
yang populer. Yang pertama berpendapat i’tikaf harus di masjid yang digunakan
untuk shalat jum’at. Pendapat yang kedua mengatakan boleh i’tikaf di masjid
yang hanya dipakai shalat lima waktu, walaupun tidak dipakai untuk shalat
jum’at. Pendapat yang pertama dimaksudkan untuk menghindari seringnya orang
yang beri’tikaf keluar menuju masjid lain untuk shalat jum’at. Dengan demikian i’tikaf
di masjid yang dipakai shalat jum’at hukumnya lebih afdhal atau lebih utama.
Dibulan Ramadan, selain menjalankan ibadah puasa, tarawih dan
bertadarus Al-Qur’an, melakukan i’tikaf sangatlah dianjurkan, khususnya disepuluh
hari yang terakhir Ramadan. Karena menurut hadits disepertiga Ramadan yang
akhir terdapat malam keistimewaan, yaitu malam lailalul qadar. Malam ketetapan,
malam yang lebih dari seribu bulan. Sebagaimana
hadits Nabi: “Carilah malam lailatul qadar di (malam ganjil) pada sepuluh hari
terakhirbulan ramadan.” (HR. Bukhari
dan Muslim). Maka dengan beri’tikaf di masjid diharapkan bisa mendapatkan malam
lailatul qadar yang banyak dicita-citakan oleh muslim sedunia.
Bolehkah Wanita I’tikaf di Rumah?
Wanita diperbolehkan i’tikaf di masjid dengan syarat ada izin dari
suaminya atau dari walinya yang lain jika belum bersuami, serta aman dari
fitnah dan aman dari bercampurnya dengan laki-laki lain yang sedang i’tikaf.
Hal ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan Aisyah ra. bahwa ...Rasulullah
saw. melakukan i’tikaf pada sepuluh hari bulan Ramadan sampai Allah mewafatkan
beliau. Kemudian para istri beliau beri’tikaf setelah beliau meninggal. (HR.
Bukhari dan Muslim).
Lalu bolehkah wanita i’tikaf di rumah?
Dari banyak keterangan yang disampaikan para ulama, wanita boleh
beri’tikaf di masjid mana saja. Baik yang dipakai shalat jumat ataupun hanya
dipakai shalat lima waktu saja. Tetapi bolehkah wanita i’tikaf di rumah atau
masjid yang ada di rumah?
Menurut Imam Malik—sebagaimana dikutip dari Ibnu Rusyd—i’tikaf di rumah
atau masjid rumah baik bagi laki-laki maupun wanita tidak sah. Imam Syafi’i
pernah membolehkan i’tikaf di masjid rumah, tetapi pendapatnya yang baru (qaul
jadid) beliau mengatakan tidak boleh i’tikaf di masjid rumah. Berbeda
dengan Abu Hanifah, ia berpendapat boleh bagi wanita i’tikaf di masjid rumah.
Bahkan mayoritas pengikut Imam Hanafi (hanafiyah) menilai i’tikaf di masjid
luar rumah adalah makruh. Dengan alasan bahwa tempat i’tikaf bagi wanita adalah
tempat paling afdhal untuk shalatnya, sedangkan tempat shalat wanita yang
paling afdhal adalah di rumahnya.
Sebelum memutuskan pendapat ulama mana yang lebih kuat, sebaiknya
dipahami dulu makna dan definisi i’tikaf agar tidak keliru mengambil
kesimpulan. Yang pertama dalil tentang i’tikaf dalam Surat Al-Baqarah ayat 187
menyebutkan kata masjid. Kedua, ibadah shalat dan i’tikaf adalah dua ibadah
yang berbeda, dan masing-masing mempunyai tata cara sendiri. Ketiga, dari
beberapa riwayat para istri Nabi tidak beri’tikaf di rumah tetapi beri’tikaf di
masjid dengan cara meminta izin pada beliau. Keempat, Rasulullah pernah
menganjurkan bagi wanita untuk shalat fardhu di rumah, namun tidak pernah
menganjurkan i’tikaf di rumah.
Demikianlah uraian sederhana tentang i’tikaf yang penulis kutip dari
pelbagai sumber. Mudah-mudahan bermanfaat.[]
Wa fauqa kulli dzi ‘ilmin aliim, dan di atas orang yang berilmu
masih ada yang lebih berilmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar