Minggu, 18 Januari 2009

Belajar Beragama, Belajar Berbuat (Part 2)

Wacana keberagamaan umat saat ini terlihat paradoks. Ada yang mewartakan (ber)agama sebatas gagasan-gagasan ideal ditengah berkecamuknya jaman, di dunia yang saat ini tak bertepi (borderless), dimana pluralitas tak bisa dihindarkan. Satu sisi ada yang mencoba mengenakan baju agama namun seolah menutup mata bahwa realitas sesungguhnya tidak sama dengan apa yang terlihat di sini (berpendar). Sehingga keberagamaannya terasa rapuh, karena kurang berpijak pada realitas.

Ada paradigma yang berusaha melakukan penyesuaian-penyesuaian antara idiom-idiom agama dengan perubahan sosial dan konstelasi politik. Sementara paradigma yang lain bersikeras melakukan ayatisasi-formalistis. Demikian cendikiawan Yudi Latif menggambarkan paradigma pemikiran Islam yang dominan berkembang selama ini. Masing-masing “pengikut setia” alur pemikiran tersebut saling mengklaim kebenaran pemikiran pemikiran mereka. Bahwa akar penyebab keterbelakangan umat Islam adalah kebodohan memahami ajaran agamanya sendiri. Maka kedua kalangan tersebut saling memberikan resep atau jawaban atas keprihatinannya, tentu saja dengan perspektif masing-masing.


Muncul lagi kalangan yang tidak puas dengan resep dan jawaban-jawaban dari kedua golongan di atas. Maka kalangan ini mengkritik beragam kekurangan yang ada pada kedua golongan yang mengusung paradigma di atas—walaupun tidak terlalu menyalahkan. Salah satu lokomotif pembawa paradigma baru ini adalah Muslim Abdurrahman. Ia menyebut paradigma baru tersebut dengan istilah “Teologi Transformatif”. Kelompok ini mencoba mensintesiskan kedua pemikiran (paradigma) yang telah ada. Menurut kalangan ini realitas memang merupakan hal yang niscaya dan perlu ada. Kemudian realitas tersebut dilihat dengan perspektif Islam sembari dicari praksis pemecahannya. Dengan harapan terdapat hubungan dialektis antara ideal-ideal Islam dengan realitas yang terjadi. Dengan kata lain kita mengubah fakta yang ada agar dapat sesuai dengan cita-cita Islam.

Sekilas akan tampak harapan yang besar dengan gagasan yang mereka usung. Apalagi gagasan ini tampak brilian, disamping semangat empiris yang menggebu-gebu dari para pendukung atau penganutnya. Tetapi nyatanya gagasan yang tampak brilian tersebut tatap saja berkutat pada ide-konseptual, dan belum mendarat di kekumuhan bumi sosial, Yudi Latif membahasakannya. Apakah hal semacam ini akan mendinamisasikan (kepercayaan) agama?

Sebenarnya ketidakcocokan atau tidak adanya penyelesaian pembaharuan pemikiran Islam ini karena para aktivisnya terlalu memikirkan hal-hal yang global, tetapi lupa bertindak lokal. Mereka merasa telah menjadi manusia par-excellence dengan “bahasa-bahasa planet” yang mereka kumpulkan. Padahal yang mereka lakukan hanyalah “gosip intelektual”. Mereka ini lupa membelai orang lain dengan bahasa bumi, mengobati kesakitan-kesakitan akar rumput dari keterpojokan dan kesengsaran yang tak mereka pahami.

Finally, berpikir global (besar) adalah cerminan manusia yang menghargai akal, namun jangan lupa untuk melakukan kerja-kerja lokal dengan berkeringat. Sehingga kita tidak hanya sekedar menjadi a man of ideas, tetapi sekaligus bisa menjadi a man of actions. Kalaupun kita tidak bisa melakukan keduanya, maka perlu melakukan sinergi untuk menutupi kelemahan-kelemahan tanpa saling merendahkan. Sehingga tidak lagi terjadi ketimpangan-ketimpangan yang akan melahirkan kebodohan-kebodohan baru dalam beragama. []
Wafauqa kulli dzi ‘ilmi aliim.

Sumber inspirasi: Yudi Latif, Masa Lalu yang Membunuh Masa Depan, Mizan, Bandung

Tidak ada komentar: