Minggu, 18 Januari 2009

Belajar Beragama, Belajar Berbuat (Part 1)

Belajar beragama tidaklah mudah bagi oarang yang telah terbiasa sekalipun tentang agama, apalagi bagi orang yang jarang atau tidak pernah mempelajari tentang agama. (Meskipun bisa saja terjadi sebaliknya). Orang yang beragama mestinya adalah orang yang hidupnya penuh dengan aksi kebajikan. Kehidupannya di dunia memberikan efek positif bagi makhluk di sekitarnya. Walaupun secara kodrati ia berpotensi untuk berbuat kebatilan—karena begitulah sisi negatif manusia. Namun kebatilan yang telah ia lakukan senantiasa ia sesali dan digantikannya dengan amal shaleh. Karena manusia yang baik bukanlah manusia yang tidak pernah melakukan kesalahan, namun apabila ia melkukan kesalahan dengan cepat ia menyesalinya , bertaubat dan ditambalnya dengan amal kebaikan.

Beragama sekarang ini—dan dimasa mendatang—tidak cukup hanya dengan percaya akan adanya Penguasa Kehidupan. Tapi lebih dari itu. Realitas ssial dimana kita tinggal dan di sisi lain di belahan bumi yang sama, mengharuskan sikap aktif-progresif kita untuk meluruskan kepincangan dunia dari kedzaliman, ketamakan dan ketidakadilan. Juga dari moralitas yang menghancurkan. Pelbagai ketimpangan dan kerusakan yang terjadi di bumi ini semestinya menjadikan nurani (sebagai) orang yang beragama merasa terpanggil. Karena jelas, agama diturunkan untuk kedamaian dan keselamatan manusia dan makhluk lain (rahmatan lil’alamiin). Jadi pada saat kita membiarkan kedzaliman terjadi, saat itu pula kita mengkhianati dan meruntuhkan sendi-sendi kepercayaan agama kita.

Dalam ajaran Islam, keyakinan beragama mutlak berpangkal pada prinsip-prinsip tauhid yang melahirkan persaksian (syahadah). Proses penerimaan keyakinan (agama) dan kesadaran tentang Tuhan selayaknya melahirkan internalisasi yang sempurna antara kesadaran intelektual dan kesadaran spiritual sekaligus.
Maka secara otomatis hubungan antara manusia dengan Sang Khalik akan melahirkan nilai-nilai peribadatan dan kekhalifahan di muka bumi. Sedangkan hubungan manusia dengan manusia yang lainnya seharusnya melahirkan nilai-nilai koeksistensif, egaliter dan saling menghormati dalam berbagai aspek kehidupan.

Bertitik tolak dari itu semua, maka dalah niscaya untuk mempertanyakan ulang sifat dan sikap keberagamaan kita. Apakah kualitas iman kita, hidup kita lebih positif—jika seandainya—dibandingkan dengan orang yang tak beragama. Meskipun memang kualitas iman adalah sisi yang abstrak, namun side effect-nya munkin saja untuk di(per)lihat(kan). Persaksian (syahadah) akan Kemahatunggalan Allah dan keyakinan akan kbenran risalah yang dibawa Nabi Muhammad shallalluhu ’alaihi wasallam, akan ter-refleksikan dalam aktivitas-aktivitas sosial secara utuh dan non-parsial. Sebab tauladan kita mengajarkan, meski Rasulullah SAW adalah pribadi yang sangat tekun beribadah, menghidupkan malam untuk bermunajat kepada Allah, tepai beliau juga adalah sososk pekerja keras dan pejuang sejati dalam pertempuran. Kehidupannya di dunia dan di akhirat dijalaninya dengan seimbang. Ibadah vertikalnya tidak mengurangi kulitas serta kuantitas ibadah horizontal (sosialnya).[]

Tidak ada komentar: