Jumat, 18 Oktober 2013

Warna Warni Jilbab

Dian Pelangi sumber:ummihabibah.com
SECARIK kain yang dipakai oleh perempuan untuk menutupi kepala dan rambut, itulah jilbab dalam pengertian yang sederhana. Saya tak ingin berpanjang-panjang menguraikan pengertian jilbab, dari sisi bahasa maupun istilah. Apalagi dari sisi teologis. Corak jilbab saat ini kian beragam, berwarna warni dan kian keren. Kebanyakan jilbab berwarna polos, tetapi banyak juga yang bermotif bunga, kotak-kotak, kartun bahkan logo partai politik tertentu. Saya pernah melihat jilbab bergambar kartun Tweety, untungnya saya tak pernah melihat yang jilbab bergambar tengkorak, seperti pada “slayer.”


Bukan jenis warna atau motif jilbab yang ingin saya bicarakan disini. Ada sebuah tulisan menarik tentang jilbab yang di tulis Mohammad Guntur Romli di Koran Tempo, 09 Maret 2007. Romli menjelaskan bagaimana dilematis dan paradoksalnya selembar jilbab. Disatu pihak ada yang berjuang mati-matian agar bisa memakainya, karena ada pihak yang melarang. Disisi lain ada pihak yang mencoba memaksakan penggunaan jilbab karena tak mau berjilbab. Di Perancis seorang muslimah bisa kehilangan pekerjaan dan pendidikan hanya karena mengenakan jilbab. Di Afganistan atau Pakistan, tak memakai jibab bisa berakhir kematian. Seperti yang dialami Menteri Sosial Pakistan, Zill-e Huma. Ia ditembak mati oleh kelompok Islam garis keras di Pakistan gara-gara tak mengenakan jilbab.

Setidaknya ada empat macam motivasi orang berjilbab. Alasan penggunaan jilbab nantinya akan berpengaruh pada pemilihan bentuk, motif jilbab dan gaya hidup orang yang mengenakannya. Dengan gaya hidup yang berbeda secara tidak langsung berbeda pula kepribadian sang pemakai jilbab.

Motif pertama tentu saja karena alasan teologis alias keagamaan. Mereka yang memakai jilbab ini menganggap berjilbab bagian dari sebuah syariat (hukum) agama. Berjilbab dalam kepercayaan mereka adalah kewajiban. Sama halnya dengan kewajiban shalat, puasa dan lainnya. Bentuk jilbabnya pun tidak sembarangan, tetapi harus sesuai syariat. Misalnya tidak tipis, tidak hanya menutup kepala atau rambut, tetapi juga bagian dada. Jilbab mereka relatif lebar. Pergaulannya pun relatif dijaga. Tidak sembarangan bergaul dengan lawan jenis.

Kedua, karena alasan psikologis. Bagi mereka jilbab bukan bagian dari kewajiban agama, tetapi sebagai budaya dan kebiasaan. Mereka memakai jilbab karena kenyamanan. Mereka merasa tidak enak, canggung kalau tak memakai jilbab. Buntuk dan motif jilbabnya tidak terlalu penting, sesuai kemauan, tetapi tak mau yang lebar. Tidak harus menutup kepala atau rambut asal menempel saja di atas kepala. Gaya hidupnya lebih terbuka, pergaulannya luas dibanding model pertama.

Ketiga karena alasan politis. Dalam konteks ini orang berjilbab karena dipaksa oleh sebagian kelompok muslim yang ingin memkasakan penggunaan simbol-simbol agama pada ruang publik. Karena adanya unsur paksaan, maka sulit untuk mengatakan berjilbab pada konteks ini sebagai bagian dari kesadaran pribadi atas keimanan atau keshalehan pribadinya. Aceh adalah contoh nyata dalam hal ini. Beberapa daerah lain di Indonesia pun mencoba menerapkannya melalui peraturan daerah. Alasannya, penerapan syari’at Islam.

"...berjilbab merupakan bagian dari perintah agama, 

namun tak perlu ada pemaksaan untuk berjilbab di ruang publik"

Menjelang Pemilu maupun Pemilukada sering dijumpai calon yang selama ini tak berjilbab “mendadak“ berjilbab. Istri kontestan Pemilukada berjilbab saat kampanye, gambar-gambar berjilbabnya disebar dalam kalender muapun di baliho yang besar-besar. Semuanya demi menarik simpati masyarakat, agar sang calon terkesan shaleh(ah) dan taat beragama. Hal yang seperti ini juga saya anggap sebagai berjilbab karena motif politik.

Bagi saya berjilbab merupakan bagian dari perintah agama, namun demikian tak perlu ada pemaksaan untuk berjilbab di ruang publik. Mungkin yang tak berjilbab memang tak tahu alasan kenapa harus berjilbab. Bisa jadi sudah tahu tapi memang tak mau berjilbab. Yang berjilbab maupun yang tak berjilbab harus sama-sama dihormati. Jangan sampai ada daerah yang mayoritas muslim yang mewajibkan jilbab, sementara nantinya ada daerah—kebetulan muslimnya minoritas—yang melarang pemakaian jilbab di ruang publik.

Keempat, alasan fashion. Bagi mereka jilbab tak ubahnya seperti mode pakaian lain. Jilbab ini biasa disebut jilbab gaul. Bentuknya pun lebih modis, transparan dan ketat. Mereka padukan jilbab tersebut dengan pakaian yang tipis dan ketat. Banyak juga yang memakai jins mini sampai terlihat (maaf) celana dalamnya—yang kebanyakan murahan. Di Indonesia jilbab jenis ini digemari, tidak hanya oleh remaja putri tapi juga kawula tua yang merasa berjiwa muda. Perilaku pemakainya umumnya pun tidak sesuai syariat. Pergaulan mereka cenderung bebas. Misalnya mereka bisa ditemui di pentas-pentas musik, di cafe, di tempat wisata, maupun di tempat “abu-abu” lainnya.

Karena dianggap bagian dari fashion, maka saat ramadhan banyak artis yang mendadak berjilbab. Sinetron dengan judul berbau religi pun kian semarak. Mendadak artis jadi seperti muslim semua. Pemerannya yang non muslim berjilbab atau berkoko bagi yang pria.

Sekali lagi orang berjilbab tidaklah dengan satu alasan. Banyak alasan dibalik selembar kain penutup kepala tersebut. Tuhan maha mengetahui.[]

Tidak ada komentar: