Sabtu, 04 Februari 2012

Melawan dengan Manis


SUNGGUH benar—setidaknya menurut saya—apa yang dikemukakan oleh penulis buku Orientalisme, Edward. W. Said, bahwa tak seorangpun kini yang benar-benar satu hal. Dunia tidak satu atau dua warna, tapi banyak warna. Karena semuanya (orang dan sesuatu) berbaur, berinteraksi, mempengaruhi dan saling dipengaruhi. Batas-batas yang dulu tampak jelas, kini buram dan sirna.

Hal ini selaras dengan apa yang menjadi salah satu “dasar pemikiran” posmodernisme, tentang ketiadaan kebenaran yang benar-benar mutlak, tetapi segalanya itu relatif. Klaim maupun tuduhan kepada pihak ekstrim, kolot tidak selamanya berlaku. Yang (katanya) moderat, justru terkadang dalam hal yang lain sangat konservatif. Konservatif pun pada awalnya atau diakhirnya akan tampak moderat, bahkan bisa berubah liberal. Sementara yang moderat, yang membanggakan diri dengan kemoderatannya bisa terperosok kepada sifat dan sikap yang kolot. Tetapi untuk beberapa hal, menurut saya sikap “ekstrem” memang harus dipertahankan.


Demokrasi saat ini menjadi istilah atau jargon yang paling populer, dibidang bidang politik maupun disisi kehidupan lainnya. Sementara demokrasi apa, demokrasi yang bagaimana tidak jelas. Hanya yang kebanyakan dipahami, asal didukung dan disepakati orang banyak itulah demokrasi, tak peduli menghasilkan kemashlahatan atau tidak. Demokrasi model ini—menggunakan istilah Friedrich W. Nietzsche—hanya mengandalkan “manusia kawanan.” Padahal perkembangan sejarah menurut George Soversen menjadikan konsep demokrasi bersifat terbuka alias open ended, sehingga tidak ada konsep demokrasi yang bersifat umum. David Held misalnya, mengabungkan pandangan liberal dan marxis menjadi pengertian democratic autonomy. Begitupun demokrasi lain yang lahir dari akar tradisi filsafat yang berbeda seperti aliran kanan, kanan baru yang dikembangkan oleh Friedrich van Hayek, melahirkan konsep demokrasi protektif—istilah Mc Pherson. Soeharto, mantan presiden RI, menciptakan istilah demokrasi pancasila. Walaupun istilah itu kontroversial bahkan dianggap tak memiliki ruh demeokrasi yang sesungguhnya.

Bagi kalangan cendikiawan muslim pun terdapat pandangan yang berbeda mengenai demokrasi. Ada yang menolak demokrasi, ada yang coba menggabungkan demokrasi dengan (sistem) Islam. Tidak ada yang bisa disalahkan dalam hal ini, karena Islam pun tidak memberikan konsep yang jelas mengenai pemerintahan, demokrasi atau aristokrasi. Hanya ada sedikit gambaran yang relatif sama dengan sistem demokrasi, yakni syura’. Tapi yang jelas ada sifat latah (yang di sadari atau tidak) menjalar didalam pikiran dan sikap kebanyakan orang, tidak terkecuali bagi umat Islam. Demokrasi ditelan mentah-mentah sebagai sistem yang dianggap bisa menyelesaikan segalanya. Tanpa menyesuaikan ruang dan waktunya. Eropa (Barat) memang cukup berhasil dan cocok dengan konsep demokrasi, hingga kemudian ramai-ramai negara yang berkembang (dunia ketiga) mengadopsinya. Samuel P. Huntington menyebut gejala itu sebagai gelombang demokrasi dunia ketiga. Mereka ini tidak sadar terdapat jarak budaya dan peradaban yang sangat jauh antara Barat dengan dunia ketiga. Sementara Barat mempropagandakan kebudayaan yang universal di seluruh negeri. Menyamakan sesuatu yang berbeda sesungguhnya sangat tidak adil.

Setelah jurang perbedaan disadari oleh beberapa pihak, kemudian muncul gerakan-gerakan yang menentang hegemoni Barat. Bahkan sampai antipati terhadap segala yang barbau barat. Gerakan ini dilakukan oleh orang, organisasi yang paling kecil sampai yang dilakukan negara. Iraq, Libya (sebelum keduanya hancur) dan Iran adalah diantara contohnya. Disamping itu ada negara-negara sosialis yang memang musuh bebuyutan Barat. Sekarang ini “perlawanan” terhadap hegemoni Barat banyak dilakukan oleh organisasi-organisasi keagamaan dibawah spirit Islam. Sehingga kadang banyak yang beranggapan semua yang datang dari Barat bertentangan dengan Islam. Padahal anggapan itu tidak sepenuhnya benar.

Tetapi karena menolak Barat sepenuhnya adalah sesuatu tidak mungkin, jadi perlu suatu cara yang efektif, dan rasional tanpa menafikan sisi baik dari Barat. Maka Hasssan Hanafi menawarkan proyek besar “Oksidentalisme.” Sebuah kajian tentang bagaimana dunia timur (Islam) memandang, menggali dan mempelajari dunia Barat. Sesungguhnya oksidentalisme adalah upaya perlawanan terhadap orientalisme. Dimana orientalisme selama ini menjadikan dunia timur (khususnya Islam) sebagai obyek kajian. Maka dengan kajian oksidentalisme sekarang ini Barat dijadikan obyek. Dengan cara itulah perlawanan terhadap hegemoni Barat bisa dilakukan dengan rasional, elegan dan manis. Perlawanan dengan wacana. Agar tercipta alternatif dan keseimbangan dalam keilmuan yang obyektif, memuliakan akal dan lebih memihak pada kemanusiaan.[]

Wallahu a’lam bis-shawab.
*Pernah diterbitkan di Tabloid Raden Intan, IAIN Raden Intan Lampung

Tidak ada komentar: