Senin, 31 Desember 2012

Setelah Sinetron, Boyband Lalu Apa Lagi?

ADAKAH pemain sinetron saat ini yang lahir dari sanggar seni atau teater? Rasanya minim sekali. Mungkin karena sinetron (kebanyakan) tak membutuhkan bakat atau keterampilan akting untuk pemerannya. Yang dibutuhkan sinetron hanya penampilan fisik. Pemeran Cuma perlu berpenampilan cantik atau ganteng, soal kemampuan akting bisa diatur belakangan. Jika tak cantik atau tampan, harus yang berpenampilan unik—untuk tidak mengatakan jelek banget. Toh, skenario dalam sinetron juga bukanlah konsep yang jelas. Jalan ceritanya bebas mengalir, berputar-putar dan semaunya sutradara atau produser. Banyak yang mengadopsi dan memodifikasi dari sinetron lain yang sama-sama minim kreativitas. Hanya beda judul dan nama tokohnya.


Banyak aktor dan akris yang sebenarnya berbakat dan pandai berakting. Tetapi ketika sudah menekan kontrak, kemampuan bakat tersebut tak terlalu dibutuhkan. Sang aktor atau aktris harus tunduk pada gaya sinetron saat ini. Maka orang sekelas Didi Petet, Meriam Bellina, Barry Prima—sekadar menyebut beberapa nama—yang sangat ciamik berakting di layar lebar, menjadi terlihat “bodoh” di sinetron. Ngomongnya berlebihan, tidak natural dan terlalu dibuat-buat. Entah mengapa orang-orang yang bagus berperan di layar lebar bersedia dimainkan disinetron yang akting dan jalan ceritanya begitu menyebalkan. Mungkin karena godaan uang terlalu susah untuk dilawan. Karena sinetron telah menjadi industri hiburan yang instan. Dan entah mengapa tontonan seperti itu setia dilihat pemirsa.

Industri hiburan yang laris di televisi tidak hanya sinetron, ada juga industri musik. Sama seperti sinetron, industri musik saat ini juga terkesan instan. Tak perlu bersuara bagus dan tak perlu terlalu paham soal musik semua bisa menjadi penyanyi. Dengan suara pas-pasn dan asal bisa menyesuaikan gerak bibir dengan musik yang sudah direkam, sudah bisa menjadi artis. Orang menyebutnya dengan musik lipsync (lip synchronization). Lagi-lagi modal utamanya adalah berupa tampang. Jika laki-laki harus berpenampilan unik seperti lelaki yang kurang hormon testosteron. Jika perempuan wajib berpenampilan manja dan centil. Inilah yang kemudian dalam dunia musik Indonesia disebut boyband dan atau girlband. Karena sekadar menyesuaikan gerak bibir dan rekaman lagu, maka tak heran ketika tampil di panggung nyaris tak ada improvisasi layaknya penyanyi solo atau band yang sebenarnya.

Memang dunia hiburan adalah dunia yang instan dan popular. Khusus tentang musik, segala jenis musik yang sedang popular langsung dikemas agar layak jual. Apalagi anak-anak muda disini umumnya tidak punya selera musik yang jelas. Mereka masih galau. Mengaku slanker tetapi menonton konser trio macan. Saat Ayu Ting Ting tenar, tiba-tiba semua orang seolah penggemar dangdut. Semua mendadak suka lagu India hanya karena Norman Kamaru. Mendadak suka band malayu, mendadak demam K-Pop dan sebagainya. Intinya selera mereka masih bisa disetir oleh media. Dan industri musik saat ini memaksa mereka untuk menyukai boy/girl band. Inilah perangkap pasar industri hiburan. Pemirsa terus dipaksa menjadi konsumen pasif. Hanya bisa menikmati tanpa bisa memilih.

Agama pun tak luput dari industrialisasi televisi. Agama menjadi komoditas yang bisa ditawarkan ke penonton untuk menghasilkan uang. Ustad disisipkan dalam fragmen sinetron (yang katanya) religius. Pengajian akbar dikolaborasikan dengan band-band yang biasanya tampil hura-hura dan glamor. Sang ustad hanya ditampilkan lebih sedikit ketimbang band dan hiburan lainnya. Materi yang disampaikan ustad pun tak perlu berkualitas , berbobot apalagi religis, yang penting bisa mendatangkan iklan dan menaikkan rating. Maka tak heran ustad seperti Jefri Al-Bukhori, Solmed, Guntur dituntut untuk tampil instan, glamor, popular dan bergaya hidup layaknya selebriti. Mimbar agama dikemas menjadi setengah hiburan. Inilah akibatnya ketika (pemuka) agama berselingkuh dengan industri hiburan. Yang menjadi korban adalah agama.

Bayang-bayang kapitalisme dalam industri televisi seringkali memarginalkan nilai-nilai moral, edukasi dan sosial-budaya. Karena mengajar keuntungan semata, acara-acara televisi disulap menjadi hiburan an sich. Sulit mendapatkan nilai-nilai edukasi, agama, budaya dan kearifan lokal dari televisi saat ini. Televisi menjadi kotak hiburan yang sayangnya kurang inspiratif dan lebih cenderung meracuni. Setelah sinetron, musik, agama apalagi yang akan menjadi komoditas yang dijual instan bagi pemirsa. Ataukah televisi Indonesia akan berubah?[]

1 komentar:

Kota Mero mengatakan...

tq info nya mas