Jumat, 22 Februari 2013

Kasta Ilmu

KETIKA masa SMA guru ekonomi saya pernah melontarkan sebuah pertanyaan sederhana, apakah kami (murid-murid) pernah mendengar istilah saham? “Pernah,” jawab kami. Kemudian beliau melanjutkan pertanyaan, apa yang dimaksud dengan saham? Dengan penuh percaya diri beberapa siswa dengan riuh—termasuk saya—menjawab, saham adalah surat berharga. Karena memang demikianlah yang diajarkan beberapa guru ketika SMP. Apa jawaban sang guru. “O, begitu ya?” kata guruku manggut-manggut. “Kalau surat cinta dari pacar berharga tidak?” lanjutnya. “Berharga,” jawab kami hampir serentak. “Kalau begitu apakah surat cinta termasuk saham?” Banyak yang diam, tapi ada juga yang menjawab “bukan.”


Guru saya waktu itu sebenarnya tidak menyalahkan jawaban kami, namun jawaban saham sebagai surat berharga katanya lebih cocok untuk anak setingkat SMP atau SD. Untuk tingkat SMA—lagi-lagi katanya—sudah tidak pas lagi. Kemudian guru saya memberikan pengertian yang lebih komprehensif tentang saham dengan mendiktekannya. Sayangnya, saya tak ingat apakah pengertian saham yang lebih komprehensif tersebut.

Ilustrasi indo.web.id
Ketika saya SMP, saya pun ingat guru Biologi saya memberi pertanyaan, yang lagi-lagi sederhana. Apa pengertian ampibi? Tak begitu sulit bagi kami waktu itu untuk membuka mulut. “Ampibi adalah hewan yang hidup di dua alam,” begitu salah satu siswa mewakili. “Itu mah jawaban anak SD,” kata guru saya waktu itu. Beliau tidak menyalahkan, tapi meminta kami untuk memikirkan alternatif jawaban lain. Detik berlalu, menit pun berjalan, tetapi tak ada yang memberi jawaban lain. Sayang saya lupa nama guru tersebut. Tapi untuk jawabannya kira-kira sang guru menjelaskan begini. Ampibi adalah hewan yang semasa kecil hidup di air, sedangkan ketika dewasa sebagian besar hidupnya lebih banyak di darat. Jawaban guru saya mungkin bisa diperdebatkan. Tapi satu hal yang beliau ajarkan adalah hendaknya pola pikir siswa berubah sesuai dengan bertambahnya usia dan tingkat pendidikan. Selain itu siswa harus berani berfikir mendalam, kreatif untuk menjawab sebuah pertanyaan. Jadi tidak harus sama persis dengan apa yang tertulis dibuku. Dengan demikian diharapkan siswa tidak mencontek, karena siswa tahu inti sebuah jawaban. Soal susunan kalimat bisa bermacam-macam caranya.

INGATAN saya akan kata-kata sang guru membuat saya berfikir, berati memang ilmu itu berkasta-kasta. Karena berkasta-kata maka ilmu pun harus disampaikan dengan bijak sesuai dengan tingkat kemampuan si penerima. Individu yang berilmu juga harus menyadari posisinya dikasta yang mana. Yang berkasta tinggi tentu tidak relevan jika pola pikirnya masih seperti kasta awam. Bagi yang berkasta rendah jangan pongah karena banyak orang yang lebih berilmu.

Karena tugas kerja, saya pernah memasuki kampung-kampung terbelakang. Saat itu kami rombongan, membawa seorang ustadz sekaligus ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) kecamatan setempat. Kebetulan saat itu bulan Rabi’ul Awwal, jadi setelah tugas kerja selesai acara dilanjutkan dengan memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW sesudah shalat Jum’at. Sesuai dengan kondisi masyarakat tersebut yang masih awam, sang ustadz pun memberi ceramah yang “remeh-temeh” namun mengena. Misalnya, kata beliau, kalau hadirin belum bisa mengerjakan sunah-sunah Nabi, minimal yang wajib-wajib dikerjakan, seperti shalat lima waktu dan puasa ramadhan. Dikatakannya juga, bila belum bisa meninggalkan rokok yang makruh, paling tidak yang haram-haram seperti berjudi, minum minuman keras ditinggalkan dan sebagainya.

Pengetahuan keagamaan yang sederhana seperti itu tidak salah bagi orang atau masyarakat yang kasta pengetahuannya rendah. Tapi bagi yang berkasta pengetahuan lebih tinggi maka tidak cukup hanya berpandangan seperti itu. Agama tidak hanya soal halal-haram. Ibadah pun tidak hanya shalat, zakat atau haji, tetapi lebih luas lagi.

La ikraha fiddin (tak ada paksaan dalam beragama) memang tak salah dipahami sebagai sekadar kebebasan untuk memilih agama. Apakah itu Islam, Kristen, Konghucu atau Budha. Tapi, meminjam istilah guru saya, itu mah pemahaman anak sekolah. Kalau sudah mengenyam strata satu apalagi strata dua dan tiga, tentu tidak relevan lagi. La ikraha fiddin sesungguhnya mengandung makna eksternal dan internal. Makna eksternalnya adalah kebebasan memilih agama seperti dijelaskan di atas. Sedangkan makna internalnya berarti kebebasan memilih mazhab dalam beragama Islam. Bebas menjadi Ahlussunah, Syi’ah, Mu’tazilah atau lainnya. Bebas mengikuti Imam Syafi’i, Maliki, Hanafi, Hambali ataupun Ja’fari. Dengan demikian tidak perlu menghakimi atau menyalahkan orang lain karena pemahaman yang berbeda. Karena kebebasan memilih agama dan mazhab sudah dijamin, tidak hanya oleh negara tapi juga oleh agama. Jika sikap seperti sudah disadari oleh sebagian besar umat Islam, tentu akan tercipta keharmonisan dan rahmat bagi alam semesta.

Dahulu memasuki awal perkuliahan, saya mulai mengenal istilah-istilah asing, kata-kata ilmiah menurut kawan-kawan. Saya pikir kalau berbicara dengan menggunakan bahasa ilmiah itu keren. Kalau kata-kata ilmiah itu disisipkan dalam tulisan pasti hebat. Semakin banyak istilah ilmiah mungkin akan lebih baik, walaupun kadang terkesan dipaksakan. Tetapi pandangan itu kemudian saya sadari keliru. Penulis yang bagus tidak harus dengan bahasa ilmiah yang rumit-rumit. Saya pernah membaca tips menulis yang menjelaskan bahwa kurangilah istilah asing. Benar kata P. S. Laplace (matematikawan), bahwa penulisan yang disederhanakan seringkali menjadi sumber dari teori-teori besar. Semakin banyak orang yang mamahami tulisan kita berarti komunikasi kita lewat tulisan efektif. Bacalah tulisan “Cari Angin”-nya Putu Wijaya di Koran Tempo, sederhana, tetapi tetap menarik dan tidak mengurangi kedalaman isinya.

Cara berbicara seseorang pun berbeda-beda. Saat berdialog pun tak sama. Yang ilmunya nanggung biasanya lebih emosional saat berargumen, sedangkan yang menguasai masalah cenderung kalem dan rasional. Sekali lagi karena kasta ilmunya memang berbeda. Wa fauqa kulli dzi ilmin ‘aliim (dan di atas orang yang berilmu ada yang lebih berilmu). []

Tidak ada komentar: