Jumat, 20 Januari 2012

Makna Ulang Tahun

:Juga untuk yang hari ini ulang tahun.

Hari lahir, pada hakikatnya adalah pengulangan nostalgia. Nostalgia kelahiran. Seseorang senantiasa ingat dan senang dengan masa lalu. Seringkali dirinya membandingkan apa yang dirasakannya hari ini dengan hari-hari yang telah lewat. Melihat apa yang telah didapatkannya hari ini dan apa saja yang belum tercapai.

Mengenang hari lahir kini telah menjadi budaya massa, khususnya di kalangan anak-anak dan generasi muda. Berbeda dengan generasi (tua) dahulu yang tidak menganggap penting sebuah hari lahir. Ini terbukti banyak yang tidak ingat kapan dirinya lahir—hari apa, tahun berapa—apalagi sampai merayakannya. Mungkin sebagian orang ada yang ingat hari atau waktunya dari cerita orang tuanya. Misalnya kalau orang jawa ingat kalau ia lahir pada Sabtu Wage, Pahing, Legi atau Pon. Lahirnya pagi hari atau malam hari, tapi tidak tahu tajun berapa. Namun bagi generasi sekarang mengenang atau merayakan hari lahir seolah menjadi bagian penting dalam hidupnya.
Karena mungkin hari lahir dianggap sebagai pertanda kehidupan baru. Berbeda dengan generasi tua yang justru lebih senang “merayakan” (memperingati) momen kematian. Padahal kematian adalah tanda kesementaraan di dunia. Misalnya memperingati 4o hari kematian, 100 hari atau seribu hari seseorang yang meninggal dunia.

Seorang remaja desa yang dulu tidak pernah merayakan kelahirannya, kini dirayakan. Minimal oleh teman-teman dekatnya. Orang tua di pedesaan yang pernah merasakan kehidupan kota, ketika mempunyai anak pun mulai merayakan ulang tahun anak-anaknya. Maka kini budaya merayakan ulang tahun mulai ramai di pedesaan. Tentu saja dengan meniru orang kota; meniup lilin, memotong kue dan membagikan hadiah. Sementara teman-temannya yang diundang menyumbang kado. Ada juga keluarga yang “merayakannya” dengan cara yang lain, berdoa dan makan bersama. Mereka tak mau menggunakan istilah ulang tahun, tetapi milad. Padahal ya artinya sama saja.

Maulid Nabi dikalangan umat Islam adalah bagian dari pengaruh budaya massa itu. Umat Islam mencoba merayakan (baca: mengenang) kelahiran Nabi Muhammad SAW, namun dengan tujuan dan semangat yang berbeda dari sekadar ulang tahun biasa. Generasi awal Islam memang tidak pernah merayakan ulang tahun bagi dirinya sendiri maupun bagi Nabinya. Perayaan maulid Nabi mulai dikenal pada masa kekahalifahan Salahuddin Al-Ayyubi dan lebih “semarak” lagi pasca kemunduran Kekhalifahan Turki Utsmani—kekhalifahan terakhir dalam sejarah dinasti Islam. Maulid Nabi merupakan upaya membangkitkan kesadaran umat Islam dari keterpurukan dengan mengenang nilai-nilai dan semangat yang dibawa-ajarkan oleh Muhammad SAW. Dengan adanya peringatan kelahiran Nabi diharapkan umat Islam segera tersadar dan bangkit, khususnya melawan segala bentuk imperialisme. Sebagian umat Islam mengatakan maulid Nabi adalah bid’ah, bahasa halus untuk sesat.

Kembali pada masalah ulang tahun. Pada hari lahir umumnya seseorang diliputi perasaan antusias dan bahagia. Minimal pada hari dan tanggal itu. Walau tak jarang orang yang berulang tahun diliputi perasaan gelisah. Gelisah sebab tak kunjung dapat jodoh, tak dapat pekerjaan layak, atau belum mendapat benda-benda yang diidamkan. Dan tidak sedikit bagi perempuan risau, galau, karena hadirnya garis keriput di wajahnya. Sedangkan bagi laki-laki gelisah setelah terlihat beberapa uban ataupun kebotakan. Padahal dirinya masih merasa muda. Belum mendapatkan jodoh pun termasuk yang menggelisahkan bagi laki-laki, walaupun kegelisahannya mungkin tak sebesar perempuan.

Hari lahir adalah “tugu peringatan” sebagai penanda yang tak terlihat. Penanda bagi sebuah usia. Penanda dan barometer perjalanan hidup. Karena ingatan manusia seringkali terbatas, karena itu mengenang hari lahir diperlukan. Hari lahir adalah tanda untuk mengikat sebuah ingatan. Dengan bersemangat orang mereposisikan cita-citanya pada hari lahir. Mencoba melanjutkan cita-citanya yang memudar dan tak kunjung tercapai. Banyak yang setia dengan harapannya. Namun tak sedikit yang melupakannya karena menganggap jalan menuju cita-citanya begitu gelap dan terjal. Hingga akhirnya ia tinggalkan cita-citanya yang telah lama ia rawat. Pasrah ataupun berganti cita-cita yang lebih “mudah” dicapai. Mencari suatu cita-cita yang realistis saja, realistis menurut perspektif mereka.

Karena “tugu ingatan” bernama hari lahir itu dianggap penting. Acapkali yang bersangkutan merayakannya dengan gempita dan penuh rencana. Kawan, kerabat dan orang-orang terdekat diundang secara khusus. Sebagian orang-orang dekatnya mendo’akan dan memberinya hadiah sebagai semangat. Doa dari orang-orang dekat itulah yang sering membangkitkan semangatnya untuk meraih mimpinya. Mimpi yang hampir dilupakan karena bertambahnya usia. Mimpi yang terlupakan karena tertimbun berlembar-lembar persoalan hidup.

Ironisnya ada sebagian orang yang menganggap hari lahir adalah “tugu peringatan” yang merisaukan. Karena duniawi tak kunjung digenggam, sementara kepuasan batin tak juga diraih. Ada sebagian lagi yang cita-cita duniawinya sudah ada digenggaman tangan, namun kulit yang keriput, rambut yang berubah warna membuatnya gelisah. Hari lahir seolah membuatnya semakin tampak tua. Maka ia membenci datangnya hari bernama hari lahir. Seperti vampir yang benci sinar matahari, karena akan membuatnya terbakar.

Dengan demikian, apa sesungguhnya makna sebuah ulang tahun? “Tua adalah niscaya, sedangkan dewasa adalah pilihan,” begitulah seringkali saya dengar. Memang suka atau tidak—jika umur panjang—orang akan semakin tua. Secanggih apapun seseorang menghambatnya dengan cream buatan L’Oreal atau Pond’s Institute (ini bukanlah nama perguruan tinggi). Sedangkan dewasa memerlukan proses. Tua berhubungan dengan fisik, sementara dewasa berhubungan sikap, mental dan religiositas. Maka jika berharap menjadi dewasa perlu ada upaya yang sungguh-sungguh untuk menjadi dewasa. Mungkin ulang tahun memang bermakna, tapi mungkin juga tidak. Bermakna jika ia menjadikan momen tersebut sebagai “tonggak” (re)instrospeksi diri. Menilai dan menimbang diri agar lebih baik sebagai manusia. Ulang tahun menjadi tidak bermakna, apabila hanya diperingati sebagai sebuah ritual untuk makan-makan, pesta dan minta dan atau menerima sebuah hadiah. Apalagi jika ulang tahun dimaknai sebagai kebebasan orang untuk melemparkan telur (busuk) dan menyiram air comberan di kepala.[]

Kotabumi, Ulang Tahunku 2011

Tidak ada komentar: