Minggu, 08 Januari 2012

Di Kaki Gunung Pesagi

KISAH ini terjadi beberapa waktu yang lalu. Karena itu sengaja kuceritakan, karena jika tidak, cerita ini akan hilang. Aku berharap temanku akan menceritakannya kepada yang lain.

“Aku adalah pengembara,” begitu kuawali ceritaku pada seekor kucing hitamku. Kucing itu hanya menggerak-gerakkan kepalanya ke kakiku. Tak perlu persetujuan darinya aku melanjutkan ceritaku. “Telah banyak tempat di negeri ini yang aku datangi. Dari satu tempat ke tempat lain. Dari pulau satu ke pulau lain di negeri ini. Kampung dan desa kumasuki. Kota demi kota tak luput dari pengembaraanku. Aku beruntung hidup di era transportasi dan teknologi. Dengan demikian pengembaraanku bukanlah pengembaraan seperti pada kisah Brama Kumbara yang berjalan kaki atau naik kuda. Terkadang aku naik roda dua, bus, kereta api ataupun kapal laut. Satu yang tak pernah kucoba adalah pesawat udara, sebab kudengar pesawat terbang di negeri ini tak begitu layak terbang.” Kucing di sebelahku masih diam saja.


“Aku masih mempunyai rumah dan orang tua. Karena itu aku pun sesekali pulang ke rumah sehabis mengembara. Jika aku tak betah di rumah, aku memakai sepeda motor untuk pergi kemana saja selama beberapa hari. Terkadang ke rumah teman yang jauh jaraknya. Demikian bergantian kudatangi antara satu teman dengan teman lainnya.”
Aku meraih kucing hitam berekor pendek ke pangkuanku.

“Tidurlah di sini, biar aku belai-belai kepalamu. Akan kulanjutkan ceritaku.”
Dahulu ketika usiaku belum genap 18 tahun, aku pernah mengembara ke suatu daerah yang sangat dingin. Airnya dingin bagai sop buah. Udaranya pun sama dinginnya. Jika kau hirup udara itu dalam-dalam, maka akan kau rasakan aliran udara itu di rongga hidungmu seolah begitu nyata dan cair. Aku sampai ke tempat itu sore menjelang senja. Kabut mulai terlihat di sela-sela pepohonan yang rimbun. Hawanya benar-benar beda dari tempat tinggalku yang tak jauh dari pantai. Di rumahku yang panas saja aku malas mandi, apalagi di tempat itu yang dinginnya menusuk tulang, maka mandi adalah perjuangan yang sangat berat, apalagi untuk mandi sore hari.”

“Namun ada satu hal yang istimewa yang kutemukan di tempat itu. Yakni minumannya benar-benar luar biasa. Minuman itu tak lain dan tak bukan adalah kopi. Aroma kopinya begitu harum. Warnanya hitam pekat. Jika diminum rasanya seolah-olah masih tertinggal di dinding mulut. Tidak seperti kopi biasa yang segera hilang dari syaraf lidah begitu kopi sudah diteguk. Kopi disini sebenarnya diramu dengan sangat sederhana. Dibuat di sebuah gelas putih transparan yang tak cantik. Tumbukannya kurang halus, maka butir-butir kopi sebesar pasir mudah mengambang atau menempel di bagian atas gelas. Tak perlu dibuang, karena beberapa menit kemudian ampas kopi itu akan tenggelam dan mengendap di dasar gelas. Saat ampas kopi itu tenggelam, di situlah puncak kenikmatannya. Saat kau seruput kopi itu, kau akan lupa dengan hawa dingin yang menusuk tulangmu.”

Aku berhenti sejenak dan meraih mug berisi air berwarna hitam pekat kemudian menyeruputnya.

“Selain kopi,” aku melanjutkan ceritaku, “di daerah yang dingin itu akan kau temui gadis-gadisnya yang menarik. Warna kulitnya putih-putih, tapi tak sebersih bintang iklan di televisi. Lengan tangan dan betisnya padat berisi. Mereka sudah terbiasa naik turun tangga-tangga alam untuk mandi dan menyuci. Rambut mereka tak begitu hitam, terkadang ada warna kecoklatan alami di permukaannya. Warna coklatnya seperti rambut wanita-wanita di televisi. Mereka ramah, senyumnya alami dengan warna bibir yang juga alami. Tetapi disini kau perlu iman yang kuat. Sebab para gadis di sini jika mandi biasanya di sungai yang jernih. Mereka mandi dengan kain melilit di tubuhnya. Sebagian tubuh mereka kadang terbuka, dan kau bisa melihat putihnya kulit mereka diguyur air sungai. Mereka mandi dengan ceria, penuh canda, seperti para bidadari dalam dongeng Jaka Tarub dan Tujuh Bidadari.”

“Di sungai jernih itulah semua orang mandi, termasuk aku. Awalnya aku begitu kikuk, risih dan malu mandi bersama mereka. Apalagi aku tak terbiasa membuka pakaian di depan para gadis. Lama-lama aku terbiasa, namun dengan tetap memakai celana jeans yang sudah dipotong sebatas lutut. Kami hanya berdialog dalam hati atau dengan tatapan mata.”

“Makanan di tempat sedingin sop buah itu itu tak kalah sederhana. Nasinya dimasak dengan tungku dari bara kayu pohon kopi, menghasilkan nasi putih yang pulen dan khas. Begitu juga dengan sayurannya dimasak dengan bumbu dan rempah-rempah dari ladang masing-masing. Rasanya begitu pedas khas Sumatera. Saat kau makan rasa pedasnya hanya sebentar kau rasakan, setelah itu rasa hangatlah yang menjalar di tubuhmu. Dengan meminum air putih sebening kristal yang segar rasa pedas itu hilanglah sudah.”

Kucing dipangkuanku sudah memejamkan mata, mungkin tertidur, tapi aku tetap bercerita.

“Waktu terus berjalan. Tak terasa hampir dua purnama aku tinggal di daerah itu, sudah waktunya untuk pulang dari pengembaraan. Tempat yang dingin itu menjadi bagian dari kenangan yang tak mudah kulupakan. Banyak cerita dari sana, namun tak bisa kusampaikan semua padamu. Aku ingin suatu saat kau bisa mengunjunginya.”
“Tempat yang kukunjungi itu merupakan bagian dari sebuah dongeng yang pernah terjadi bertahun-tahun yang lalu. Dimana ada seorang putri yang sangat jelita yang tinggal di puncak Gunung Tanggamus. Banyak pemuda sakti, pangeran tampan, saudagar kaya ataupun raja-raja yang mencoba menemui untuk melamarnya, namun selalu gagal di tengah jalan. Mereka gagal sebelum sampai bertemu dengan sang putri. Mereka tewas diterkam harimau sumatera, dimakan ular piton sebesar kelapa ataupun tewas sebab tersesat dan kelaparan.”

“ Ya, tak gampang sampai ke tempat Sang Puteri. Jika hatimu tak jernih, yang terlihat di depanmu hanyalah sebuah hutan rimba, namun jika hatimu bersih akan terlihat jalanan dengan pemandangan perbukitan yang indah.” Sampai pada akhirnya ada seorang raja dari puncak Gunung Pesagi yang terkenal sakti dan jahat. Sang raja dan utusannya berhasil menemui putri yang cantik yang tak lain bernama Putri Beutik Hate. Sang raja pun mengutarakan maksudnya hendak meminang sang putri. Namun untuk untuk bisa menjadikannya sebagai istri, sang putri meminta syarat dibuatkan jembatan emas yang menghubungkan puncak Gunung Tanggamus dan Gunung Pesagi. Sang raja dari Gunung Pesagi pun menyanggupi syarat tersebut.”

“Sampai di kerajaannya, sang raja memerintahkan prajurit dan rakyatnya untuk mengumpulkan semua emas di negeri itu untuk dijadikan jembatan. Bahkan yang masih di perut bumi pun diperintahkan untuk diambil. Bertahun-tahun proyek raksasa itu dilaksanakan. Rakyat semakin sengsara akibat letih bekerja dan kurang makan. Alam rusak sebab penggalian emas yang membabi buta. Pohon-pohon ditebang, hutan dan bukit menjadi gundul, banyak lubang besar di sana-sini. Jembatan sudah berdiri jauh melintasi batas kerajaan. Jembatannya sangat indah penuh dengan ornamen. Kilatan warnanya kadang menyilaukan mata memantulkan cahaya matahari. Namun hingga bahan baku emas habis, jembatan itu belum berhasil menghubungkan dengan puncak Gunung Tanggamus. Sang raja yang terkenal jahat pun marah bukan main sebab tak berhasil meminang sang putri. Sementara sang putri yang cantik dan terkenal dengan kebaikan hatinya tetap menjadi putri yang disenangi rakyatnya. Tak ada yang tahu nama asli putri itu, orang-orang hanya tahu Putri Beutik Hate (baik hati).”

“Begitulah pus, kisah pengembaraanku.” “Oh, kamu sudah tidur ya? Ya sudahlah, tidurlah, aku pun mengantuk. Aku janji tak lama lagi akan membawakan putri baik hati padamu.”

-Kotabumi, Juni 2011-

Tidak ada komentar: