Senin, 27 April 2009

Kau dan Cerpenmu; Ketika Aku Dipaksa Bicara

Pengantar: Tulisan ini adalah sebuah yang secara tak sengaja aku temukan di file yang lama tak aku buka. Awalnya tersimpan dalam forman CD-R/W. Tulisan ini adalah sebuah “obrolanku” dengan seorang kawan. Saya kira hanya kawan yang bersangkutanlah yang mengerti akan tulisan ini (kalau masih ingat). Sebagai kenang-kenangan dan juga karena sayang kalau di delete, maka lebih baik aku posting saja. Jika saudara/i, tuan dan puan mau membaca silahkan saja, mungkin ada manfaatnya.
===
KETIKA aku diminta untuk mengkritik, mengomentari atau apapun namanya untuk sebuah cerpenmu, aku sudah berpikiran ragu sebelumnya, dan sebenarnya sedikit malu. Kenapa? Karena aku sendiri toh tidak bisa membuat cerpen. Aku pernah membuat cerpen dua buah, tapi satunya hilang ketika sebelum sempat di print out. Satunya masih tersimpan di kamar tapi entah di mana. Tentu saja dua cerpenku itu adalah karya perdana yang tidak ada bagusnya mungkin, tapi cukup berkesan lho membuatnya, ada sebuah pengalaman batin di dalamnya. Tapi oke deh, karena mengomentari orang lain toh pada dasarnya mengomentari diri sendiri. Mengkritik orang lain juga mengkritik diri sendiri. Kamu jangan merasa dikritik, anggap itu juga kritik buatku. Sebenarnya kritik ini punyaku hanya saja kamu boleh baca, itu saja.


Sebelum aku membaca seluruh kumpulan cerpenmu, aku lebih dahulu membaca buku kumpulan cerpen “Jl. Asmaradana” yang kau pinjamkan. Aku mengambil banyak manfaat dari pengantar yang diberikan oleh Jean Conteau dan juga penutup buku ini yang ditulis oleh Budi Darma. Sebenarnya kalau kamu telah lebih dahulu membaca seluruh buku ini, ataupun hanya pengantar dan penutup di buku kumpulan cerpen Kompas ini, kamu tidak perlu meminta masukanku untuk mengomentari cerpen-cerpenmu. Kenapa aku malas untuk mengkritik? Karena selain aku tak punya kapasitas akan teori-teori sastra. Kritik sastra pun, terutama yang sifatnya akademik (produk orang-orang sekolahan), kata Budi Darma hanya membuat orang takut untuk berkreasi, bikin kanker dalam jiwa (calon) pengarang. Terus yang aku tahu dari sedikit bacaan, teori-teori sastra itu mengikuti perkembangan karya sastra itu sendiri, bukan sebaliknya. Teori-teori sastra meski sangat penting, tetapi tidak kemudian boleh membatasi orang untuk melahirkan karya yang berbeda. Tidak ada teori sastra yang benar-benar satu hal. Kira-kira seperti itu. Ditambah membaca buku Dare To Fail-nya Billi P.S. Lim—buku hadiah dari kawanku, diberikan karena di nggak suka buku itu—aku semakin takut untuk mengkritik orang. Meski tanpa sadar aku suka mengkritik kekurangan orang lain.

Ok, sekarang dimulai. Pertama membaca “kertas bekasmu” yang berisi karya-karyamu, aku membaca cerpenmu yang di lembar pertama, yang tidak ada judulnya. Juga kalau boleh dikatakan juga tidak ada ending-nya. Ada juga, tapi ya seadanya. Kamu mengakui sendiri kan? Dimulai dari “Meniti Sepi di Akhir Kemarau”. Di paragraf awal si tokoh pertama (aku, maksudnya kamu) bercerita kepada orang kedua—bernama Anggun. Tapi pada paragraf keenam kamu tiba-tiba begitu saja menyebut nama Anggun. Sehingga kesannya—dan nyatanya memang iya—kamu jadi bercerita kepada orang banyak (pembaca). Kalau menurutku sih tetaplah bercerita (berdialoglah) dengan Anggun dalam imaji. Jadi cukuplah Anggun tetap diganti kau (sebagai kata ganti untuk Anggun). “Menantinya” menjadi “menantimu”. Dalam cerita ini kamu perlu memperkenalkan Anggun yang telah lama pergi, jangan langsung menyebut namanya. Jadi aku (pembaca) tidak tahu siapa dia?

Kalimat “Andai tak ada perpisahan”, kata yang diucapkan Anggun, kapan itu terjadi? Dimana? Ketika sedang apa? Seandainya kamu ingin sedikit flashback, jangan langsung sekonyong-konyong. Untuk naskah drama atau film barangkali bisa, karena tokoh bisa ditampilkan dalam gambar, bahkan meski tanpa dialog dan kata, flashback masih tetap memungkinkan. Jadi sekali lagi ingin bercerita kepada orang kedua (anggun) atau keorang ketiga (kami, orang banyak)? Kalau pendapatku ke orang kedua saja lebih pas dengan cerita dan perasaan yang dirasakan si pak Undang atau kalau mau disusun gaya diary saja. Ketika dulu tokoh menjalani masa-masa indah sampai waktunya perpisahan. Dan kemudian berjumpa kembali dengan situasi dan perasaan yang berbeda. Coba gambarkan, paparkan kenangan—yang kau anggap—manis itu, saat Anggun masih di sekolah (dan janji-janjinya).

Di cerpen berjudul “Warna Semu”, dialog pertama yang terbangun seperti kilat. Tak jelas siapa yang ngomong, dan juga tak ada ending dialog yang jelas. Datang dan pergi dengan tiba-tiba. Bisa saja si tokoh itu (si Yonas kan?) datang tiba-tiba, tapi kan perlu diceritakan kemunculannya. Kamu sendiri namanya siapa? Bel… apa? (kalau nggak mau nyebutin nama lengkap ya mungkin nggak apa apa, tapi apa nggak bikin tanda tanya orang lain?). Si cewek-cewek disini, kamu diantaranya anak kembar kan? Eh, sudah kalimatnya nggak jelas, masih pake genit juga. (…”atau dia yang memang canggung berhadapan dengan calon iparnya yang, ehm… cantik juga”). Diakhir cerita kamu malah beropini tentang cinta. Ini yang menurutku kurang bagus.

Ada cerpenmu yang menggelikan. Dalam “Bintang Selalu Bersinar” ceritanya nggak rasional. Fiksi justru harus lebih rasional dari kenyataan di dunia nyata. Rasional dalam pengertian ada sebab-akibat yang jelas. Ada hal yang membuat rasional, kenapa harus terjadi seperti itu. Masa’ iya, sebuah keluarga tidak bisa beli minyak tanah, tapi punya handphone, punya pulsa, punya komputer dan bisa menyekolahkan anaknya ke luar daerah. Masih juga cari kayu bakar untuk memasak. Cerita ini mengambil setting waktu atau menjelang bulan ramadhan. Di pasar manapun, ketika menjelang ramadhan pasti ramai. Masyarakat kita konsumtif mi...(logat makasar, bukan mie instan). Beberapa waktu sebelumnya memang terjadi kelangkaan BBM, tapi kan setelah menjelang ramadhan banyak, hanya saja harganya mahal. Kalau Cuma mahal masih banyak yang bisa membelinya. Paling tidak untuk ukuran orang yang punya komputer dan handphone.

Saya pernah membaca tulisannya Joni Ariadinata kalau tidak salah, (sebab kubaca di An-Nida), fiksi terkadang justru harus lebih rasional dari kenyataan di masyarakat, seperti yang saya bilang di atas. Meski ada dan mungkin banyak teman-temanmu, teman-teman kita yang bernama sama. Misalnya ada nama Amir lebih dari lima yang kamu kenal. Kamu tidak boleh memberikan nama tokoh yang sama dalam cerpenmu. Meskipun nama Amir-nya berbeda-beda. Hal ini yang harus rasional di dunia fiksi. Disekitar kita ada orang yang mati mendadak, tepatnya belum diketahui penyebab kematiannya. Di dunia fiksi justeru kita harus dijelaskan kenapa ia mati. Pengecualian untuk cerita detektif, yang jagoannya tidak bisa menemukan sebab kematian yang dicarinya. Tapi kalau tokoh penting mati nggak jelas penyebabnya? Wah, sinetron bangeeet.

Eh, kamu habis baca cerpen-cerpennya anak-anak FLP ya? Hebat euy.. kamu rajin tahajjud. Sholehah juga. :-)

Dari keseluruhan cerita yang ada, yang menurutku paling menarik adalah cerpen berjudul “Rindu di Ujung Salju.” Dari paragraf awal aku sudah tertarik untuk membacanya, sayang, aku tak bisa mengetahui ending-nya.

Sorry hanya itu yang aku bisa. Sangat mungkin kamu akan tersinggung. Mungkin juga kamu akan mengatakan, sok tahu. Ya begitulah, orang bodoh memang kadang lebih sok tahu. Aku nggak mau membuat kesalahan-kesalahan fatal dengan banyak mengkritik. Saat ini mungkin cerpenmu masih kurang menarik (terutama buatku), bisa jadi sebulan, setahun atau beberapa tahun kedepan apa yang ku kritik ini tidak benar, cerpenmu malah menjadi best seller. Kamu tahu nggak? Novel Gone with the Wind yang telah diterjemahkan kedalam 35 bahasa dan pernah tercatat dalam rekor penjulan terbesar, mampu terjual sebanyak 50.000 dalam satu hari, tetapi sebelumnya novel ini pernah ditolak oleh penerbit di Hollywood. Chicken Soup for the Soul—yang sepertinya kamu tidak suka—pernah juga ditolak oleh sebanyak 33 penerbit, sebelum akhirnya menjadi salah satu buku best seller. Semua terjadi hanya karena selera saja, baik dan buruk itu relatif, tergantung kebutuhan saja. Kalau aku katakan aku kurang menyukai beberapa cerpenmu, sedang Saiful Irba Tanpaka—yang kamu bilang pernah mengkritik cerpenmu—mengatakan kebalikannya, yakni bagus, itu bukan karena aku lebih hebat. Disinilah sebenarnya letak kebodohanku, yang tak mengerti sebuah sastra dan aku mungkin berselera rendah.

Di cerpen yang pertama, yang tak ada judulnya, aku tak bisa komentar banyak. Sebenarnya menarik. kalau saja kamu mau sedikit bersabar dan telaten membaca ulang pasti hasilnya mengagumkan. Sepertinya kamu terlalu terburu-buru ingin cepat menyelesaikan cerpenmu. Disamping itu juga ingin cepat-cepat memberikan ending yang tak lengkap. (Kawan, soal cerita berakhir happy ending atau sad ending tidak mempengaruhi baik atau buruknya cerita, yang penting nyaman dan rasional, atau menyisakan kesan di hati. Aku juga sebenarnya suka cerita yang tidak selalu berakhir happy, tapi kalau aku suka tokohnya, aku akan memihaknya dan berharap semoga dapat berakhir bahagia, minimal tidak berakhir tragis).

Menurutku ada kelemahan yang aku tangkap dari tulisanmu. Kamu kurang telaten, terutama membaca ulang, juga kurang menguasai bahasa Indonesia. Maaf ini, kamu jangan tersinggung. Karena aku juga sangat kurang kok menguasai bahasa Indonesia. Kenapa kita kurang menguasai? Jangan berkecil hati, karena kita memang berasal dari kultur Jawa. Jangan salah, meski banyak sastrawan, penyair dan pengarang di pulau Jawa, Sapardi Djoko Damono mengatakan hanya sedikit saja dari mereka yang menguasai bahasa Indonesia. Terutama untuk syair-syair yang dihasilkan kurang bisa dipahami orang lain, apalagi jika dikembalikan pada kelisanan-nya, puisinya jadi tidak nyaman diucapkan. Terkecuali Si Willy (si Burung Merak, W.S. Rendra) yang meski lahir dari kebudayaan Jawa tapi cukup menguasai bahsasa Indonesia (Melayu). Rendra bagian dari sedikit orang (jawa) yang bisa menguasai bahasa Indonesia dengan baik (dan gimanaaa gitu). Kalau Sutardji jangan tanya, karena dia lahir dari kebudayaan Ibu bahasa Indonesia (melayu).

Sebenarnya menurut pendapatku, semua tokoh di cerpen yang ada disini punya karakter yang sama, (maaf) nyaris seperti pribadimu; mutungan. Susah memaafkan orang lain. Sebuah kesalahan “kecil” selalu disimpan dalam hati, seolah itu sebuah penghinaan kepada dirinya.

Demikianlah tuan dan puan tulisan ini. So, the end.

Bandar Lampung, Gedung PKM Lantai 2, tt.

Tidak ada komentar: