Sabtu, 31 Maret 2012

"Shalat Delisa," Kesalahan yang Disengaja

HAFALAN Shalat Delisa menjadi pemantik yang membakar perbincangan. Film yang diangkat dari novel Tere Liye terbitan Republika dianggap efek visualnya kurang menarik. Peran Nirina Zubir juga dirasa kurang tepat memerankan Ibu Delisa, karena kurang keibuan. Ada juga yang merasa sosok centil Nirina masih terlalu melekat dalam film Get Maried. Walaupun begitu film tersebut cukup menyentuh dan menginspirasi dibandingkan dengan film Indonesia kebanyakan, apalagi yang bertema setan.

Selain komentar soal film, ada juga yang memperbincangkan Hafalan Shalat Delisa dari sudut pandang bahasa Indonesia. Oleh pakar bahasa, penggunaan kata “shalat” dianggap tidak sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Karena dalam bahasa Indonesia penggunaan gugus konsonan /sh/ tidak ada. Konsonan yang bernada desis (frikatif) /s/, menurut Tata Bahasa Baku Indonesia, gugus konsonannya adalah /sl/, /sr/, /sw/, /sp/, /sm/, /sn/, /sk/, /st/. Misalnya kata slip, srigunting, swasta, spekulasi, smes, snob, skema, statistik dan sfing. Dengan demikian “shalat” adalah kata yang salah, seharusnya yang benar adalah “salat.” Jadi judul film tersebut mestinya ditulis Hafalan Salat Delisa.

Perdebatan seputar kata baku dan nonbaku mungkin bisa diselesaikan dengan membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Masalahnya banyak kata yang tidak baku tetapi telanjur berkembang di masyarakat. Sedangkan kata yang baku malah tidak populer. Seringkali KBBI dijadikan acuan untuk menghakimi mana kata yang benar dan mana kata yang salah. Memang orang harus merujuk pada KBBI ketimbang lama-lama berdebat tentang sebuah kata. Tetapi KBBI yang dianggap sebagai kitab sucinya bahasa Indonesia terlalu lamban untuk mengikuti perkembangan bahasa yang bertebaran di masyarakat. Percampuran budaya dan bahasa otomatis menghasilkan kata dan istilah yang beragam. Perkembangan cabang ilmu pengetahuan dan teknologi pun menyumbang kata dan istilah yang baru. Kata atau istilah baru sudah populer dimasyarakat, “penguasa bahasa” baru turun tangan meluruskan. Hal inilah yang sangat disayangkan. Selain itu kaidah-kaidah dalam Bahasa Indonesia dianggap sudah mapan, jadi reformasi bahasa atau mengamandemen kaidah bahasa Indonesia seolah sesuatu yang berdosa.

Bahasa (kata) adalah unsur budaya yang hidup dalam masyarakat. Atas dasar menjunjung tinggi-tinggi nasionalisme bahasa Indonesia, terkadang menafikan unsur asing yang sudah lazim dalam masyarakat. Banyak sekali istilah dari berbagai cabang keilmuan dan bidang kehidupan—termasuk istilah-istilah keagamaan—yang tidak atau belum ada padanannya dalam masyarakat. Tetapi karena adanya sikap alergi terhadap unsur asing itu mengakibatkan istilah-istilah tersebut seolah tak bisa masuk sebagai kata yang baku, baik dan benar. Padahal seperti pernah dituliskan oleh budayawan Remy Silado, sembilan dari sepuluh kata bahasa Indonesia adalah asing. Dibandingkan dengan jumlah kosa kata dalam bahasa Jawa saja bahasa Indonesia masih keok.

Eko Endarmoko, penyusun Tesaurus Bahasa Indonesia, pernah mempertanyakan, apa dan dimanakah batasan baik dan benar itu? Siapa yang punya kuasa untuk memutuskan baik dan benar itu? Apa ukurannya dan apakah sudah dimiliki? Menurutnya, Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan edisi terakhir pun masih menyimpan sangat banyak persoalan. Penyerapan unsur asing pun mudah kita temukan dalam KBBI tidak konsisten. Contoh yang sederhana, New Zealand menjadi Selandia Baru, tetapi New York tidak menjadi York Baru. United Nations (UN) menjadi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), sedangkan ASEAN tetap dipakai dengan singkatan dan kepanjangan yang asli.

Shalat (dibaca solat) adalah satu dari sekian banyak kata yang berlaku dan dipakai di masyarakat, tetapi dianggap salah oleh penguasa bahasa. Ada juga yang menuliskan dengan kata “sholat.” Shalat berasal dari bahasa Arab. Sedangkan dalam bahasa arab setidaknya ada empat ‘desisan’ /s/ yang serupa tapi tak sama, yaitu /sh/, /sy/, /sh/, /ts/ (versi perguruan tinggi Islam). Karena itu dalam penulisan karya ilmiah di UIN atau IAIN yang banyak memakai istilah bahasa Arab dan keagamaan punya pedoman transliterasi (terjemahan) tersendiri yang berbeda dengan Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia (PEBI). Sebab jika menggunakan PEBI akan terasa lucu, tak tepat, salah bahkan membingungkan. Bayangkan jika gugus konsonan /sy/, /sh/, /ts/ (yang dipakai di IAIN) semua disamakan dengan /s/. Karena itu sivitas akademika di perguruan tinggi Islam walaupun sangat sadar kata-kata atau istilah yang dipakainya tidak baku atau tidak sesuai dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar, tetapi mereka tetap menggunakannya. Sebab kata-kata yang mereka pakai berkaitan dengan disiplin keilmuan tertentu yang tidak boleh ambigu apalagi salah ketika dibaca, diucapkan dan dituliskan. Selain itu istilah keagamaan tidak bisa digantikan dengan istilah yang serampangan, hal ini terkait dengan kenyamanan, citarasa dan kesakralan penganutnya. “Ilmu nahwu-sharaf” lucu kalau diganti-tuliskan dengan “ilmu nahwu saraf.” Meskipun sepertinya bunyinya sama, tetapi kata “Allah” tak bisa digantikan dengan “Aloh” atau “Yesus” dengan “Yezus,” misalnya. Begitu juga kata “shalat” dirasa lebih pas dan nyaman daripada kata “salat.”

Sering juga masyarakat memakai kata shaf, padahal sesuai KBBI seharusnya saf, yang artinya berjajar atau berlapis. Safar (bulan Hijriyah) ditulis Shafar. Salawat ditulis shalawat dan sebagainya. Karena bagi pelajar terbiasa membaca Alqur’an atau akrab dengan huruf arab agak janggal kalau menuliskan kata salawat, sebab ia tahu kata itu sesuai aslinya diawali huruf sod, bukan huruf sin. Kemudian kata hadis jarang dipakai di UIN/IAIN, tetapi mereka memakai kata hadits. Selain itu untuk penulisan nama-nama yang berasal dari bahasa Arab, umumnya orang Indonesia ingin sesuai dengan aslinya agar tidak salah arti.

Hal-hal seperti itulah yang sepertinya kurang diperhatikan oleh penguasa bahasa Indonesia. Padahal pemakaian unsur asing dari bahasa arab sudah sangat lama menyebar dalam masyarakat. Termasuk dalam buku-buku keislaman. Tetapi penguasa bahasa Indonesia tidak berani berijtihad dan mengamandemen PUBI dan KBBI. Mereka sudah menutup pintu pembaharuan. Dalam bahasa Indonesia tidak ada gugus konsonan /sh/ apalagi /ts/. Dengan demikian segala kata, istilah atau kalimat yang menggunakan gugus konsonan tersebut dianggap tidak baik dan tidak benar. Ketimbang berlarut-larut apa salahnya memasukkan gugus konsonan /sh/ atau /ts/ misalnya, sebagai bagian PEBI yang baku dan benar.

Pusat Bahasa sebagai penguasa bahasa mestinya berani mengadakan amandemen atau pembaharuan. Jadikanlah kata sebagai kata, bukan jadi satu dari sekian alat penindasan. Jangan jadikan sebuah kata (meminjam istilah Gunawan Muhamad) seperti sebilah pedang berat yang membebani manusia. Jika Pusat Bahasa tidak berani dan tetap kaku memakai pedoman ejaan yang lama, maka akan tetap ada mazhab (aliran-aliran) dalam pemakaian bahasa Indonesia. Karena yang menjadi pangkal persoalan kata baku dan tidak baku umumnya adalah serapan dari bahasa Arab dan juga Inggris. Dengan demikian orang yang menuliskan kata shalat, ramadhan, hadits, shalawat atau shaf tidak dituduh sebagai orang yang salah dan tidak benar dalam berbahasa. Mungkin memang harus berbesar hati mengakui sebagian kata yang berkembang di masyarakat sebagai sesuatu yang benar, ketimbang mempertahankan kata sebagai sesuatu yang antik di kamus bahasa mengendap di rak buku dan tak terpakai. Terakhir, sebagaimana diungkapkan kolomnis Tempo, Gunawan Muhammad, bahasa memang bukan sebuah lorong bersih, bukan sebuah garis lurus yang bisa sepenuhnya dikuasai si pengguna. Bahasa adalah sebuah rimba yang menakjubkan, tapi di dalamnya terdapat untaian akar mimang yang sering membuat pengertian sesat. Sebagian besar muslim Indonesia memang tahu kata shalat salah. Tere Liye tahu, orang-orang Republika tahu dan saya juga tahu, tetapi itu memang kesalahan yang disengaja.[]

Tidak ada komentar: