Jumat, 02 Maret 2012

Empat Tingkat Kebahagiaan

BAHAGIA adalah kata yang paling sering diucapkan dalam doa. Doa saat ulang tahun, pernikahan, doa sesudah shalat maupun dalam acara-acara seremonial. Sepertinya setiap orang merindu-dambakan kebahagiaan. Sayangnya tidak semua orang tahu apakah arti kebahagiaan, jalan menuju kebahagiaan dan apa yang bisa benar-benar membahagiakan dirinya.

Memang sulit merumuskan definisi bahagia. Ada yang menganggap kebahagiaan ada pada harta yang banyak. Maka harta benda pun dikejar dengan segala cara. Yang lain mengira kebahagiaan adalah hidup bersama kekasih dengan cinta sejati, lalu perburuan pacar pun dimulai. Rela melakukan apapun demi (katanya) cinta.Tidak cocok dengan satu orang, mencari lagi yang lainnya begitu seterusnya berganti-ganti. Ada juga yang merasa menemukan kebahagiaan pada makanan dan minuman yang enak-enak. Kebahagiaan adalah memeliki wajah yang rupawan, harta banyak, pendamping yang elok dan memiliki rumah bagus, begitu pendapat yang lain mengatakan. Begitulah manusia mencoba menemukan kebahagiaan. Tetapi setelah semua materi didapat tak ada kebahagiaan yang memuaskan dan kekal.


Kebahagiaan itu menurut ahlinya tidak satu macam, tetapi bertingkat-tingkat. Dari kebahagiaan tingkat dasar atau rendah hingga kebahagiaan tingkat tertinggi. Setidaknya ada empat kategori kebahagiaan.

Tingkat kebahagiaan yang pertama ada pada makanan yang enak. Kebahagiaan ini adalah kebahagiaan terendah. Makan (tentu saja dengan minum) adalah kebutuhan dasar manusia dalam hidup. Banyak manusia hanya untuk memenuhi kebutuhan dasarnya saja kesulitan. Susah mencari makan. Kadang sehari makan kadang tidak. Kalaupun mampu mendapatkan makanan sering tidak layak secara gizi maupun rasa. Karena itu mampu mendapatkan dan merasakan makanan yang banyak apalagi enak merupakan suatu kebahagiaan. Banyak yang sudah mendapatkan kebahagiaan tingkat pertama ini, tetapi masih banyak yang mengganggap makanan enak adalah kemewahan yang harus diperjuangkan. Karena itu kebahagiaan ini juga berkaitan dengan uang dan harta yang memungkinkan bisa membeli makanan yang banyak dan enak.

Kebahagiaan tingkat kedua adalah seks. Seks oleh sebagian orang dianggap puncak kebahagiaan di dunia. Seks adalah syurga dunia. Maka demi memenuhi kebahagiaan akan seksualitas seringkali orang lupa aturan. Perselingkuhan, zina, seks bebas mencendawan dimana-mana. Kawin-cerai, poligami juga merupakan tanda kecenderungan orang akan kebahagiaan tingkat dua (kebutuhan seks).

Tingkat yang ketiga adalah kebahagiaan intelektual. Intelektualitas dianggap kebahagiaan yang melampaui kepuasan akan seks. Mungkin terkesan aneh, tapi begitulah adanya. Demi mendapatkan kebahagiaan ini banyak orang yang rela menghabiskan sebagian besar umurnya untuk terus belajar dan menggali ilmu tanpa henti. Banyak yang enggan atau lupa menikah. Yang sudah menikah kurang perhatian terhadap pasangannya. Ada seorang dosen yang sampai tingkat doktor belum punya rumah. Uangnya habis untuk melanjutkan studi dan membeli buku-buku. Ia dan anak istrinya mengontrak rumah dan berpindah-pindah. Muhammad Hatta, Wakil Presiden RI pertama, adalah orang yang memenuhi kebutuhan intelektualnya dengan membeli ribuan buku. Hartanya peninggalannya adalah pikiran dan buku-buku yang kini tersimpan di Museum Bung Hatta.
Julian Paul Assange, Pendiri Wikileaks—situs spesialis dokemen-dokumen rahasia—adalah orang yang merasa bahagia dengan aktivitas intelektualnya. Walaupun kehidupannya terancam. Dalam biografinya pria Australia itu dikabarkan selalu berpindah-pindah tempat yang sangat rahasia. Untuk menghilangkan jejak ia berganti-ganti ponsel dan nomor telepon. Bahkan keasyikannya di depan komputer pria yang pernah kuliah di Universitas Melbourne ini sering lupa dan jarang makan, termasuk jarang mandi.

Demi mencari kabahagiaan intelektual ini Imam Syafi’i rela menghabiskan harta bendanya untuk menggali ilmu-ilmu keislaman. Umurnya dihabiskan dengan riset dan menelaah kitab-kitab. Kaidah ushul fiqih dan kitab Al-Umm adalah buah karyanya yang amat cemerlang yang dipakai oleh jutaan umat Islam hingga saat ini. Atas nama mencari kebahagiaan intelektual (juga spiritual) ini Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Almughirah bin Bardizbah bin Badzdzibah Alju’fi atau lebih dikenal dengan Imam Bukhari mengembara ke pelbagai negeri mengumpulkan ratusan ribu hadits bahkan menghafalkannya. Diceritakan dalam biografi intelektualnya selama mengembara ia mempunyai 1080 guru yang terdiri dari ulama dan pakar hadits. Dalam kitab yang khusus mencatat guru-guru Imam Bukhari yakni kitab Usama Masyayikh Al-Imam Al-Bukhari yang ditulis oleh Imam Muhammad bin Ishak bin Mandah Al-Isbahani, setidaknya mencatat 306 guru yang dimiliki oleh Imam Bukhari. Luar biasa perjuangan para ulama dan intelektual demi mereguk kebahagiaan intelektual. Harta benda dan seksualitas pun “diabaikan.”

Kebahagiaan tingkat yang keempat adalah kebahagiaan spiritualitas. Inilah puncak kebahagiaan tertinggi, yang oleh banyak orang justru diabaikan bahkan seolah tak menarik. Karena nikmatnya kebahagiaan ini oleh ulama digambarkan, sekiranya para raja dan sultan tahu kenikmatannya, tentu mereka akan merebut dengan segala cara untuk mendapatkan kebahagiaan itu. Dijaman Rasul, Bilal bin Rabah dan keluarga Yasir adalah contoh yang merasakan manisnya kebahagiaan spiritual. Mereka tak sudi menukar kebahagiaan itu dengan harta dan kemewahan dunia, walaupun mereka disiksa dengan kejam. Bahkan keluarga Yasir bahkan hampir semuanya dibunuh dengan sadis.
Barat adalah contoh negeri yang masyarakatnya banyak yang sudah melampaui kebahagiaan tingkat pertama sampai tingkat ketiga. Keduniawian mereka melimpah. Makanan enak semua bisa dibeli dan dinikmati. Seks bisa dilakukan setiap saat dengan sah maupun tidak. Intelektualitas mereka menjadi kiblat dunia. Semestinya orang dari negeri Barat adalah orang paling bahagia di dunia. Tetapi ternyata tidak. Ada kebahagiaan yang belum dan tak bisa mereka dapat dengan melimpahnya materi dan kekuasaan. Kebahagiaan itu adalah kebahagiaan spiritual.

Pada era 90-an dan di awal era milenium ketiga (2000-an) di Barat marak istilah new age. Yaitu semacam aliran spiritualitas baru tanpa lembaga formal. Artinya spiritualitas tanpa bingkai agama yang resmi. Bukan Islam, bukan Kristen dan bukan agama Hindu atau Budha. Walaupun kontroversial tetapi setidaknya menggambarkan kegersangan ruhani mereka, padahal keduniawian sudah ada digenggaman mereka. Richard Gere adalah contoh tokoh yang meninggalkan gemerlap Hollywood dan memilih jalan spiritualitas. Aktor yang populer lewat film Pretty Women itu memilih spiritualitas new age. Penulis buku Cacing dan Kotoran Kesayangannya, Ajahn Brahm atau Peter Bett pun mengejar jalan spiritual, menjadi biksu. Padahal dengan kuliah di Universitas Cambridge Brahm bisa saja menjadi ilmuan yang kaya dan cemerlang. Dan banyak lagi orang-orang dari dunia Barat yang melakukan hal yang sama dengan Gere.

Demikianlah empat tingkatan kebahagiaan. Terserah pilihan manusia untuk mencapai jalan kebahagiaan yang mana. Menggantungkan kebahagiaan pada harta, seks, intelektual atau pada jalan spiritualitas. Atau memilih jalan keempatnya. Karena keempat hal tersebut semestinya memang tidak perlu dipisah-pisahkan, tetapi direguk sekaligus. []

Tidak ada komentar: