Sabtu, 14 Agustus 2010

Menghormati yang (tidak) Berpuasa

Satu hal yang mengusik pikiran saya ketika menjelang ramadhan adalah, mengapa semua orang diminta untuk menghormati bulan ramadhan, khususnya menghormati orang yang berpuasa? Orang yang biasa berjualan makanan diminta untuk menutup(i) warung jualannya. Hiburan malam pun harus menutup hiburan malamnya. Mengapa untuk berpuasa ramadhan semua “godaan” itu harus ditertibkan oleh pemerintah, bukan oleh hati kita? Tidak cukup kuatkah kita berpuasa kalau dikanan-kiri kita ada orang yang menjual makanan atau ada orang yang makan? Jika jawabannya ya, maka puasa kita tak ubahnya seperti puasa anak-anak yang baru belajar berpuasa.

Ramadhan adalah bulan suci. Ramadhan akan tetap suci bahkan jika kebanyakan orang tidak menghormatinya atau tidak berpuasa. Kesucian ramadhan bukan kesucian fisik, melainkan kesucian bathin. Puasa ramadhan atau puasa yang lainnya (puasa sunah) adalah ibadah personal, yang sah-tidaknya hanya Allah yang tahu. Khusus untuk puasa ramadhan bahkan Allah yang akan membalas pahalanya secara lansung, tanpa perantara malaikat.
Karena itu tindakan “menertibkan” (yang dilakukan pemerintah atau oleh ormas-ormas islam) hanya akan menjadikan ramadhan layaknya sebuah festival tahunan. Hanya akan menjadikan puasa ramadhan sebagai ibadah karitatif (ibadah yang dibuat-buat). Padahal ramadhan lebih mulia daripada itu.

Menurut saya puasa ramadhan jauh lebih mudah dibandingkan dengan berpuasa sunah. Mudah secara fisik maupun dari sisi godaannya. Kenapa? Karena saat puasa ramadhan, kebanyakan orang pun berpuasa. Baik di rumah, di sekolah, di kantor maupun di tempat umum lainnya. Coba kalau berpuasa sunah, waun-warun semua buka, orang rumah barangkali sedang masak masakan favorit. Di kantor teman-teman asyik makan bersama. Terkadang malah ada undangan untuk acara makan bersama. Orang-orang disekitar kita tidak tahu kalau kita sedang berpuasa.

Maka berpuasa ramadhan yang berat menurut saya adalah puasanya kaum muslimin di negeri minoritas muslim. Di negeri minoritas saat ramahan disepanjang jalan makanan berjejer, kemaksiatan jalan terus, godaan-godaan lain pun tidak kali hebatnya. Itulah puasa ramadhan yang sesungguhnya. Di negeri kita keshalehan dan suasana religius yang ada hanyalah religiositas yang dibuat-buat. Orang tidak ke tempat maksiat bukan karena ia sadar, melainkan karena tempat maksiatnya sedang ditutup sementara. Kita tidak berpuasa hanya karena oarang rumah tidak memasak atau warung tidak buka.

Dasar hukum berpuasa itu jelas, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” (QS. Al-Baqarah: 183). Bagi yang pernah belajar Al-Quran, saya yakin bisa membedakan antara ayat yang turun pada periode Makkah (Makiyyah) dan ayat yang turun pada periode Madinah (Madaniyyah). Ayat yang turun di Makkah salah satu ciri sederhananya adalah menggunakan ungkapan, “Hai sekalian manusia,” sedangkan ayat yang turun pada perode Madinah menggunakan ungkapan “Hai orang-orang yang beriman.” Dan berpuasa itu adalah untuk orang yang beriman. Orang yang tidak merasa beriman tidak mempunyai keharusan untuk berpuasa, dan tidak dikenakan denda duniawi. Karena itu menurut saya meminta orang lain untuk menghormati puasa kita adalah tidak perlu. Semestinya kita yang harus menghormati orang yang tidak berpuasa. Karena puasa kita bukan karena dan bukan untuk orang lain, melainkan karena dan untuk Allah Azza wajalla. []

Tidak ada komentar: