Senin, 29 Juni 2015

Tehnik Editing di Media Massa


marketing-partner.com
Edit adalah membaca dan memperbaharui naskah. Editing merupakan bagian yang sangat penting dalam media massa. Lewat proses editing tulisan dibuat lebih bermutu. Ibarat membuat kue, editing merupakan proses peracikan bumbu (yang seimbang tepat) dan pemasakan sebelum dihidangkan kepada pembaca

Seorang editor (biasanya redaktur) harus punya penguasaan bahasa yang memadai, baik bahasa Indonesia maupun bahasa asing. Semakin berkualitas seorang reporter, semakin ringanlah tugas editor.

Proses editing adalah membaca secara seksama dan selalu awas dalam memeriksa naskah. Naskah “dicurigai” sebagai naskah yang mungkin mengandung salah eja, salah tanda baca, salah penyebutan nama, sampai salah penyusunan kalimat. Bila banyak kesalahan tersebut sudah terlanjur tercetak tanpa ada perbaikan sebelumnya, maka kepercayaan orang kepada media itu akan berkurang.

Bahasa (Indonesia) Jurnalistik


“Biang keladi yang jauh lebih berdosa—yang menyebabkan tulisan kita
membosankan dan basi—bukanlah piramida terbalik,
melainkan bahasa pers.”
__Paula LaRocque
Assisten Redaktur The Dallas Morning News

Repro: uib.no
ANDA mungkin bertanya, apa itu bahasa jurnalistik? Apakah bahasa jurnalistik itu ada? Bukankah bahasa di Koran, majalah, televisi, radio itu tidak ada bedanya? Bukankah semuanya sama dengan bahasa di buku, di teks-teks pidato dan lainnya? Bukankah bahasa Indonesia itu satu.

Baiklah pendapat anda itu mungkin benar. Akan tetapi, apakah benar demikian?

Mari kita ambil contohkebiasaan Pak Ali sebelum pergi ke kantor. Pagi-pagi sesudah mandi dan berpakaian rapi Pak Ali menyeruput “Nescafe” kesukaanya, dan dengan santainya membaca beberapa berita. Sesekali ia mengangguk-angguk atau menggelengkan kepalanya, ketika membuka halaman lain. Mengapa demikan? Karena ia membaca koran pagi yang ditulis dengan bahasa jurnalistik. Bahasa yang enak dipahami dan enak dibaca. Apa jadinya bila koran menggunakan bahasa resmi, seperti bahasa perundang-undangan atau bahasa pidato.

Kamis, 25 Juni 2015

Cara Shalat Tarawih Beda Bilangan Rakaat

 Ilustrasi shalat jamaah Sumber: acehtraffic.com

Memasuki bulan suci ramadan di masyarakat jamak terjadi perselisihan kapan waktu dimulainya berpuasa. Hal ini disebabkan cara atau metode penetapan awal bulan yang berbeda. Yang pertama menetapkan awal puasa dengan menggunakan metode hisab (hitungan matematis dan astronomis untu menentukan posisi bulan). Yang kedua menggunakan metode ru’yat, yakni mengamati keterlihatan hilal (bulan sabit kecil) yang nampak pertama kali setelah terjadi ijtimak atau konjungsi. Baik melalui penglihatan manual maupun dengan bantuan teleskop.

Secara sederhana dalam pandangan awam, metode pertama diwakili oleh “kubu” organisasi masyarakat (ormas) besar di Indonesia Muhammadiyah, sedangkan ormas Nahdlatul Ulama mewakili “kubu” metode kedua—yang juga diklaim sebagai “kubu” pemerintah.

Beda pandangan dan beda metode tersebut otomatis membawa perbedaan pula dalam penetapan waktu hari Idul Fitri-nya. Tak jarang waktu dimulainya puasa ramadan bersamaan, tetapi awal hari rayanya berbeda. Dan juga sebaliknya, dimulai berpuasanya berbeda tetapi Idul Fitri-nya bisa berbarengan. Termasuk juga dalam penetapan puasa sunah arafah dan hari raya Idul Adha. Adapun penetapan awal-awal bulan hijriyah yang lain umumnya tidak terlalu melahirkan perdebatan dan perselisihan.

Ternyata perselisihan di masyarakat tidak hanya berhenti dalam masalah penentuan awal waktu puasa wajib atau awal ramadan saja, masalah shalat sunah tarawih pun kerap melahirkan pergesekan,—khususnya bilangan rakaatnya. Sebagian melaksanakan dengan jumlah tarawih 20 rakaat plus 3 witir, sebagian pihak yang lain shalat tarawihnya 8 rakaat dan 3 witir. Jika kedua pihak yang berbeda cara tersebut shalat di masjid atau mushalla yang berbeda tentu tidak menjadi persoalan. Namun yang jadi persoalan bagimana ketika kedua pihak beda pandangan tersebut hanya memiliki dan tinggal di masjid atau mushalla yang sama? 

Rabu, 24 Juni 2015

Kesepian


Kesepian ini begitu mendera
Sebelum kau datang menawarkan sepucuk kata bertabur embun
Embun yang lama dirindukan tangkai hati
Datanglah selalu dan mendekaplah
Agar hati ini hilang rasa lelah

Tahukah kau, kutasbihkan namamu hingga tepi malam dan ujung siang
Kulukiskan pada kulit harapan
Kuceritakan indahmu pada kupu-kupu, angin dan hujan
Sesekali kulilitkan namamu di bangku senja hingga ia tersipu

Kadang aku tersesat membawa lukisanmu
Logikaku terbakar, mungkin aku mabuk
Tapi tidak, aku sadar dan aku masih disini dengan kesepianku
Dan kutahu, penawar kesepian yang mendera ini hanyalah sebuah nama

Candipure, Jum’at 08 Juli 2011

Pagi dengan Sinar Bulan


Aku merindukan pagi
Pagi dengan sinar bulannya yang temaram
Sungguh, dalam aroma pagi aku menemukan aromamu
Semoga kau pun di sana menangkap resahku di tepi pagi

Di dinding kamar yang dingin ini
Terpantul wajahmu
Gulita tak mampu melenyapkan bayangmu

Di lantai sujudku pun kau hadir
Mengganggu kemesraanku denganNya

Aku menikmatinya
Pagi dengan sinar bulan

Kotabumi, Juni 2011-2015

Senin, 22 Juni 2015

Ramadan adalah Festival?

Ilustrasi Suasana belanja di mal. Sumber: antaranews.com
Ramadan makna asalnya adalah membakar. Membakar sifat ketamakan, kerakusan terhadap dunia. Dibulan ini kita dituntut untuk “pause,” berhenti sejenak mengendalikan syahwat, mengerem keinginan dari segala hal yang haram dan halal sekalipun. Karena itu puasa ramadan bisa dikatakan sebagai zakat (pembersih) terhadap diri seseorang yang kotor setelah sebelas bulan menelan hal-hal yang tidak jelas kebersihan dan atau kehalalannya.

Mungkin ini ironis, ramadan yang pada awalnya adalah sebuah momen keagamaan yang bersifat ukhrawi (keakhiratan) berubah menjadi momen keduniawian yang kering. Dahulu ramadan adalah saat dimana bisa beribadah puasa dengan penuh kekhusu’an kini riuh dan bising dengan sura petasan. Ibadah ini sangat rahasia dan menuntut kejujuran yang tinggi bagi pelakunya. Ramadan penuh dengan nilai-nilai sosial. Kaya dan miskin saling menghargai. Antar tetangga saling berbagi. Saat ini ramadan penuh dengan riuh-semrawut berbelanja dan kesumpekan mencari jajanan. Konsumerisme yang terjadi di bulan ini dianggap sebagai bagian dari berkah ramadan. Dengan demikian ada yang menganggap sifat konsumtif dan foya-foya selama (malam) ramadan seolah boleh ditolerir. Puasa ramadan seolah dipersempit maknanya sebagai tindakan tidak makan, minum atau bersetubuh disiang hari. Padahal ramadan maknanya lebih luas lagi. Yakni menahan segala nafsu, menghilangkan kesia-siaan, pemborosan, senda-gurau dan sifat-sikap yang tidak bermanfaat.

Ritual keagamaan yang menyangkut orang banyak memang mudah diplesetkan untuk mengeruk keuntungan berlipat. Mudah melenceng dari tujuan dasarnya. Bagaimana mungkin ibadah puasa yang sisi sosialnya dimaksudkan untuk turut berempati atas apa yang dirasakan kaum papa, tiba-tiba berubah menjadi ibadah individual yang egois. Puasa hanya dianggap sebagai menahan makan dan minum, bukan menahan sikap boros, pamer dan serakah.