Sabtu, 04 Februari 2012

Melawan dengan Manis


SUNGGUH benar—setidaknya menurut saya—apa yang dikemukakan oleh penulis buku Orientalisme, Edward. W. Said, bahwa tak seorangpun kini yang benar-benar satu hal. Dunia tidak satu atau dua warna, tapi banyak warna. Karena semuanya (orang dan sesuatu) berbaur, berinteraksi, mempengaruhi dan saling dipengaruhi. Batas-batas yang dulu tampak jelas, kini buram dan sirna.

Hal ini selaras dengan apa yang menjadi salah satu “dasar pemikiran” posmodernisme, tentang ketiadaan kebenaran yang benar-benar mutlak, tetapi segalanya itu relatif. Klaim maupun tuduhan kepada pihak ekstrim, kolot tidak selamanya berlaku. Yang (katanya) moderat, justru terkadang dalam hal yang lain sangat konservatif. Konservatif pun pada awalnya atau diakhirnya akan tampak moderat, bahkan bisa berubah liberal. Sementara yang moderat, yang membanggakan diri dengan kemoderatannya bisa terperosok kepada sifat dan sikap yang kolot. Tetapi untuk beberapa hal, menurut saya sikap “ekstrem” memang harus dipertahankan.

“Homo Symbollicum” dan Simbol Shalat

PADA dasarnya manusia adalah satu-satunya makhluk hidup yang selalu menggunakan simbol-simbol. Baik untuk sekedar identitas, maupun sebagai pemaknaaan atas suatu hal yang diyakini kebenarannya—simbol ideologi misalnya. Maka tak heran munculah istilah ”homo symbolicum”—yang mengambarkan manusia sebagai pengguna simbol.

Orang Yahudi, sangat membanggakan topi kecil yang diselipkan di ujung belakang kepalanya atau bintang david—bintang bersisi enam—sebagai simbol keyahudian. Bulan sabit, Jilbab dipersepsikan atau diidentikkan dengan umat Islam. Belum lagi simbol merah, hijau, suara, kiri, kanan, tengkorak, martil, sarung, jari tengah dan seterusnya. Yang secara sadar atau tidak simbol-simbol tersebut dipakai dan digunakan orang. Baik tahu maknanya maupun tidak.

Pengalaman Spiritual


‘PERISTIWA 911’ tahun 2001 yang meruntuhkan gedung kembar World Trade Center—pusat perdagangan dunia—memang membawa implikasi yang dahsyat bagi segala sektor kehidupan, utamanya bagi umat Islam. Karena pelaku peledakan yang menggunakan pesawat Boeing tersebut telah dialamatkan kepada umat Islam sebagai teroris, tentunya dengan perspektif Amerika.

Tetapi, ada salah satu hikmah dibalik semua itu. Blessing in disguise, istilahnya. Dikabarkan oleh sejumlah media, ribuan warga Amerika di Boston diam-diam merasa tertarik dengan Islam yang dianggap sebagai biang teroris itu. Mereka yang awalnya tidak tahu Islam, mencari tahu apa sebenarnya Islam itu. Mereka penasaran. Sebagian warga Amerika yang tertarik itu hanya sekadar ingin tahu saja, sebagian lagi memilih Islam sebagai jalan hidupnya. Umat Islam di sana pun mulai gencar melakukan kajian keislaman. Diantaranya bertujuan mensosialisasikan Islam yang sebenarnya, bukan seperti tuduhan media-media asing.

Setelah Jobs Pergi

: Mengenang 120 hari kepergian Steve Paul Jobs

SEORANG laki-laki kurus duduk tak tenang dikursi ruang tamu sebuah perusahaan komputer Atari. Berjam-jam lamanya ia tetap tak beranjak dari tempat itu. Ia mendekap berkas lamaran kerja. Pimpinan perusahaan sudah memberikan jawaban bahwa sang lelaki kurus itu tidak bisa bekerja di perusahaannya. Alih-alih beranjak pergi, lelaki itu tetap menunggu kepastian bahwa dirinya layak bekerja di perusahaan itu. Atari kemudian menerima si lelaki tersebut, daripada harus memanggil polisi untuk mengusirnya. Lelaki itu bandel itu bernama Steve Paul Jobs.


Cerita itu memberikan sedikit gambaran bagaimana kekerasan hati Jobs untuk ketika menginginkan sesuatu. Ia begitu yakin dan pantang menyerah, karena ia yakin ia mampu. Dalam kisah lain, ketika Jobs bekerja di Apple Inc. (dahulu bernama Apple Computer Inc.) untuk membuat komputer pertama kali bersama rekannya, Steve Wozniak, mereka kehabisan material. Jobs tak segan-segan menelpon Bill Hewlett untuk membantunya memasok material kebutuhannya, meskipun ia sebenarnya tidak mengenal bos Hewlett Packard tersebut. Lagi-lagi Jobs tidak menyerah sampai ia mendapatkan material untuk komputer Apple-nya.

Agama Praksis versus Agama Wacana


SEJARAH kelahiran agama memang masih banyak orang yang memperdebatkannya, namun untuk apa agama dilahirkan, rasanya kita sepakat, yakni sebagai penenang jiwa sekaligus petunjuk hidup (way of life). Meskipun demikian, kelahiran agama tidaklah berjalan dengan mulus, ia dipenuhi dengan rintangan. Karena agama selain punya misi menentramkan, ia juga lahir untuk mendobrak beragam kerusakan dan ketidakadilan. Untuk kemudian menciptakan kehidupan yang penuh keharmonisan dan kedamaian bagi semua makhluk.

Sebagaimana agama lainnya, kelahiran agama Islam sejak awal pun sangat mengguncang, karena agama ini telah berani merubah tatanan yang telah mapan saat itu. Kalau agama sebelumnya umumnya hanya mengajarkan tentang bagaimana berhubungan dengan Sang Pencipta, bagaimana berbuat baik terhadap sesamanya. Namun Islam lebih dari itu semua.