Jumat, 02 Maret 2012

Poligami


POLIGAMI menjadi tema yang tak pernah selesai. Wacana poligami menarik dari sisi sosiologis maupun dari sisi keagamaan. Secara umum wanita tegas menolak poligami. Sedangkan umumnya laki-laki setuju—bahkan mau dan mempunyai niat—untuk berpoligami. Hanya sebagian kecil dari perempuan yang setuju dan mau dipoligami dan sebagian kecil juga laki-laki yang menolak poligami.

Penulis sendiri bukanlah orang yang pro maupun kontra dengan poligami. Jadi dianggap setuju juga bukan, dianggap tidak setuju juga tidak. Karena poligami terkadang bisa menjadi solusi (katup sosial), tapi dari sudut dan situasi yang lain poligami juga menjadi penyakit dalam sebuah perkawinan.
Jadi poligami harus dilihat kasus perkasus, tidak menghakimi dengan kacamata “overgeneral”—menyamaratakan semua.
Tidak dapat dipungkiri alasan utama orang poligami adalah masalah seks. Dan jika kita sependapat seks adalah kebutuhan alamiah manusia, maka alasan pernikahan karena dasar seks pun tidak salah, tidak berdosa. Karena salah satu tujuan pernikahan adalah untuk menyaluran dan menempatan seks “ditempat” yang benar. Orang yang menikah dengan alasan untuk menyalurkan seks itu tidak dilarang. Meskipun idealnya pernikahan itu dengan tujuan yang lebih mulia daripada sekadar bisa berhubungan seksual.

Bahkan dalam Islam, dorongan seksual menjadi faktor yang menentukan hukum pernikahan. Seseorang (pria) dikatakan wajib menikah jika telah matang fisiknya, mampu secara finansial dan mempunyai dorongan seks yang tinggi, sehingga dikhawatirkan terjerumus dalam jurang perzinaan (prostitusi maupun seks pranikah). Hukumnya sunah jika sudah cukup usia, mampu secara finansial namun mampu menahan dorongan seksual alias tidak dikhawatirkan berbuat zina. Nah, jika seseorang tidak mempunyai hasrat seksual (impoten), apakah dia mampu atau tidak secara finansial dan usianya cukup, maka dia dihukumkan makruh menikah. Karena dikhawatirkan pasangannya tidak mendapatkan kepuasan batin, dalam hal ini kepuasan seksual. Sedangkan jika niat pernikahannya hanya untuk main-main atau untuk menyakiti pasangannya maka pernikahannya dikategorikan haram. Karena itulah seksualitas juga menjadi faktor yang penting dalam menentukan hukum pernikahan Islam.

Kembali kepersoalan poligami. Seperti yang dikatakan di awal, boleh tidaknya poligami harus dilihat kasus perkasus. Dengan demikian tidak sertamerta menutup pintu poligami, tapi juga tidak melonggarkannya dengan serampangan. Seseorang dapat dipertimbangkan (baca: bukan dibenarkan) untuk berpoligami misalnya bila ia sudah beristri namun bekerja jauh dan intensitas bertemu dengan istrinya jarang sekali, sementara hasrat seksual suami begitu tinggi, sehingga godaan berzinanya juga besar. Atau misalnya seorang istri tidak dapat melayani suaminya dengan baik, karena cacat ataupun alasan sakit, apalagi karena mandul. Dalam kasus yang lebih ekstrem misalnya sang suami terlanjur berzina dengan wanita lain, dan wanita tersebut meminta untuk dinikahi. Dan banyak lainnya kasus dalam masyarakat.

Namun seorang suami yang berpoligami tanpa alasan yang masuk akal. Misalnya hanya karena merasa mampu secara materi, pandai merayu wanita tapi kurang bertanggungjawab terhadap keluarga, maka pintu poligami sebaiknya dikunci rapat.

Seringkali kata adil menjadi kata kunci boleh tidaknya pintu poligami dibuka. Banyak orang berpendapat tidak mungkin seseorang dapat berbuat adil,—seperti Rasulullah—karena itu berpoligami dosa hukumnya. Ada sebuah guyonan, ya kalau belum pernah poligami bagaimana bisa tahu adil atau tidak? Jadi harus dipraktikkan dulu, katanya.
Tapi apa dan bagaimanakah yang disebut adil itu? Cukup sulit mendefinisikan kata adil. Namun setidaknya ada dua pengertian adil. Yang pertama adil dalam konteks kualitatif dan yang kedua adil kuantitatif. Adil kualitatif dimaknai sebagai adil yang disesuaikan dengan kebutuhan yang menerima. Karena itu jumlah besar dan kecilnya bisa saja tidak sama. Contoh yang paling sederhana misalnya seorang ayah memberikan “uang jajan” dengan jumlah berbeda terhadap dua anaknya. Anaknya yang perempuan yang sudah sekolah di SMU setiap hari diberi uang saku 10.000 rupiah karena jaraknya jauh. Sementara anaknya yang lain walaupun sama-sama duduk di SMU diberi uang “cuma” Rp. 5.000 saja karena jaraknya dekat. Pemberian seperti itu dikatakan adil secara kualitatif. Justru jika sang ayah memberikan uang dengan jumlah yang sama kepada kedua anaknya, maka sang ayah dikatakan tidak adil.
Keadilan kuantitatif bermakna keadilan sama rata sama rasa. Jadi sesuatu yang diterima sama jumlah dan besarnya. Misalnya sekelompok orang bekerjasama dalam usaha tertentu, jumlah modal dan kualitas kerjanya pun sama. Maka ketika tiba waktunya membagi hasil keuntungan dibagi dengan jumlah yang sama persis.

Nah, kaitannya dengan keadilan dalam poligami bagaimana menilainya? Misalnya bagimana mengukur rasa kasih sayang atau cinta. Bagaimana membagi perasaan itu agar adil, baik adil kualitatif maupun adil secara kuantitatif? Apakah Rasulullah adil terhadap istri-istrinya? Jika dibaca dalam sirah nabawiyah untuk urusan kasih sayang Nabi lebih cenderung kepada Aisyah yang muda, perawan dan cerdas. Rasa cinta Rasulullah kepada Khadijah konon tidak bisa tergantikan, walaupun istri pertamanya itu sudah meninggal.Namun untuk urusan yang bisa diukur, seperti nafkah fisik, ajakan bepergian, menginap atau urusan ranjang Rasulullah sangat adil.
Dalam kasus pernikahan monogami, tak jarang seorang suami lebih banyak menghabiskan waktu dan uangnya untuk pekerjaan, hobi dan kawan-kawannya. Bukankah hal demikian juga tidak adil. Jika sang istri ridha tentu tak ada masalah, tetapi jika istrinya selalu mengeluh kurangnya perhatian suaminya, apakah hukum perkawinan mereka menjadi berdosa karena tidak adil tersebut?

Poligami dan Masalah Sosial

Dalam UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 3 ayat 2 disebutkan bahwa "Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.” Jelas disini bahwa suami boleh memiliki istri lebih dari seorang. Sedangkan syarat-syarat yang ditetapkan menurut UU Perkawinan antara lain; 1) adanya persetujuan dari istri, 2) adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka, serta 3) adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.

Walaupun secara hukum positif (hukum resmi negara) poligami tidak dilarang, namun Syekh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha lebih memilih memperketat kebolehan berpoligami, yakni ketika dalam kondisi perang atau jumlah wanita sudah sangat banyak dan atau banyak yang belum menikah. Pertimbangan demi kebaikan orang banyak (maslahat) menjadi faktor penentu boleh tidaknya pintu dibuka menurut kedua ulama tersebut. Fakta yang tidak bisa dibantah, sekarang ini jumlah wanita adalah tiga atau empat kali jumlah laki-laki. Jika poligami ditutup rapat, maka akan ada dua sampai tiga bagian jumlah perempuan yang tidak akan bisa menikah dan meneruskan keturunan. Pilihannya bagi perempuan memang dilematis. Siap menjadi istri kedua dan ketiga atau tidak pernah menikah sama sekali. Lelaki yang berpoligami adalah egois, tetapi wanita yang melarang suaminya berpoligami pun sama egoisnya. Egois karena mereka tak mau berbagi kebahagiaan dan membiarkan kaumnya tak pernah merasakan manisnya menikah dan memiliki suami.

Sebenarnya poligami bukanlah problem umat Islam semata. Beberapa agama dan tradisi kebudayaan juga mengenal istilah poligami. Jadi poligami tak identik dengan salah satu suku, agama maupun bangsa. Yusuf Qardhawi menjelaskan bahwa dalam tradisi Yahudi juga [ada] yang membolehkan memiliki istri lebih dari satu. Pemeluk kristen di Perancis juga pernah memfatwakan boleh berpoligami. Belum lagi kalau melihat kehidupan suku-suku di dunia maupun di tanah air. Poligami bukanlah hal yang aneh.
Jika bagi umat Islam Rasulullah dijadikan sebagai acuan atau contoh dalam berpoligami, maka hampir semua istrinya dinikahi sebagai solusi masalah sosial dan psikologis. Saat itu banyak janda karena peristiwa perang. Selain itu juga agar lebih memudahkan dakwah dengan menikahi janda pemimpin kabilah. Salah satu istri Nabi pun ada yang keturunan yahudi. Istri-istri Rasul juga banyak yang sudah tua dan mempunyai anak. Dan tidak semuanya cantik. Saudah misalnya, ia adalah wanita yang digambarkan gendut dan berwajah tidak cantik. Hanya Siti Aisyah satu-satunya istri Rasulullah yang perawan saat dinikahi.

Benar bahwa rasa cemburu wanita itu adalah kodrat, khususnya saat suaminya berpoligami. Sebagaimana istri-istri Rasulullah pun sering saling cemburu, apalagi jika Rasul membawa istri baru. Benar kata Qasim Amin, feminis Mesir, “Tak ada isteri yang rela bila ada perempuan lain ikut menyintai suaminya. Sama tak relanya seorang suami bila ada laki-laki lain yang ikut menyintai istrinya. Cinta adalah kodrat, baik bagi laki-laki maupun perempuan.” Namun bukan berarti dengan alasan kodrat, menjunjung tinggi martabat wanita kemudian melupakan dan abai dengan masalah sosial yang ada, khususnya yang berkaitan dengan kehidupan seputar wanita—banyak janda korban perang, bencana alam maupun perawan tua.

Dengan demikian menjadikan poligami sebagai sesuatu yang sangat ditakuti menunjukkan ketidaksiapan masyarakat, bahkan seolah-olah menutup mata terhadap masalah sosial yang ada. Toh, dibandingkan kecelakaan lalu lintas, praktik poligami tidaklah seberapa intensitasnya. Apalagi jika dibandingkan praktik perselingkuhan, seks bebas, hamil luar nikah, jumlah janda (single parent), termasuk jumlah perawan tua. Pertanyaannya, mengapa masyarakat belum siap menerima poligami namun “mentolerir” perselingkuhan. Hamil luar nikah dianggap biasa saja. Di masyarakat “dosa” poligami tak mudah dilupakan dan diampuni dibandingkan perzinaan. Jika yang terjadi demikian, berarti ada yang keliru dalam pola pikir masyarakat kita.[]

Wa fauqa kulli dzi ‘ilmin ‘aliim, dan diatas orang yang berilmu masih ada yang lebih berilmu.

Tidak ada komentar: