Sabtu, 04 Februari 2012

“Homo Symbollicum” dan Simbol Shalat

PADA dasarnya manusia adalah satu-satunya makhluk hidup yang selalu menggunakan simbol-simbol. Baik untuk sekedar identitas, maupun sebagai pemaknaaan atas suatu hal yang diyakini kebenarannya—simbol ideologi misalnya. Maka tak heran munculah istilah ”homo symbolicum”—yang mengambarkan manusia sebagai pengguna simbol.

Orang Yahudi, sangat membanggakan topi kecil yang diselipkan di ujung belakang kepalanya atau bintang david—bintang bersisi enam—sebagai simbol keyahudian. Bulan sabit, Jilbab dipersepsikan atau diidentikkan dengan umat Islam. Belum lagi simbol merah, hijau, suara, kiri, kanan, tengkorak, martil, sarung, jari tengah dan seterusnya. Yang secara sadar atau tidak simbol-simbol tersebut dipakai dan digunakan orang. Baik tahu maknanya maupun tidak.


Tetapi kebanyakan orang parsial atau setengah-setengah dalam mengartikan simbol. Mengganggap ekstrim mahasiswa atau siapa saja yang menyelipkan pin Lailahaillallah, bulan-bintang dan slogan perjuangan lainnya. Mereka yang menncibir ini agar tidak dikatakan ekstrim tetapi moderat, menggunakan jeans, kaos ataupun sandal. Tetapi tanpa sadar mereka sebenarnya tengah terjebak dengan simbol yang lain, dengan pakain yang mereka pakai. Bagi sebagian besar orang, semua simbol dianggapnya sebatas kulit saja yang kurang berarti. Tidak ada yang sakral, segalanya profan. Karena yang penting adalah substansinya. Benarkah sesederhana itu. Mungkinkah substansi bisa dicapai tanpa menggunakan media lain—simbol?

Simbol setidaknya mempunyai dua arti (sisi). Yakni yang pertama, seperti apa yang dikatakan oleh Erving Goffman sebagai Self presentation. Simbol dalam hal ini hanya sebagai presentasi diri, sekedar ikut-ikutan, menyenangkan pihak lain, untuk kepentingan pribadi atau politik. Kedua, sebagai pencerminan Inner state. Simbol ini tidak sekedar melekat di tubuh tanpa makna. Tetapi memang menyatakan kondisi (diri) si pemakai. Sebagai ungkapan ideologi, rasa percaya diri, kenyamanan tidak sekadar ungkapan polesan make-up. Jilbab besar memang tidak selalu menunjukan kesholehan, tetapi bisa saja melambangkan kesholehan pemakainya.

Penelitian dibidang Psikologi menunjukan simbol berkaitan erat dengan suasana jiwa seseorang. Orang barangkali ada yang lebih khusuk shalat manakala bersarung, berkoko atau bersurban. Kalau misalkan ada seseorang yang merasa lebih nyaman dengan simbol-simbol arab, jangan berburuk sangka mereka hanya sekadar pamer keimanan atau agar dianggap sholeh(ah).
Simbol shalat

Manakala pandangan materialis-sekular semakin menggema dan menjadi semacam ideologi manusia masa kini. Dan saat banyak orang mengalami kekeringan jiwanya. Kita bisa melihat sisi kehidupan yang lain. Tengoklah semakin banyak orang yang rajin melakukan kajian-kajian spiritialitas-keislaman, seminar dan bedah buku agama. Serta yang mulai semarak acara Malam Bina Iman dan Taqwa (MABIT)—kegiatan menginap dan shalat malam jama’ah di Masjid yang diisi dengan kajian kerohanian—banyak digelar meramaikan suasana masjid-masjid. Para peserta MABIT yang sebagian besar usianya masih muda berani melawan budaya (counter culture) malam akhir pekan,—karena kebanyakan ini diadakan pada malam Ahad—yang biasanya dihabiskan oleh orang untuk bersantai-santai dan berhura-hura.

Penulis ingin melihat satu sisi pengapresiasian model keberagamaan yang dilakukan oleh umat islam, yakni shalat. Benar bahwa shalat juga adalah simbol untuk mendekatkan diri pada sang-Khalik, Sang Pencipta. Shalat dalam Islam adalah bentuk ibadah yang paling istimewa. Banyak ayat dan hadits menerangkan tentang hal ini. Diantaranya karena perintah ini langsung diberikan oleh Allah tabaraka wata’ala tanpa perantara malaikat Jibril. Shalat ibarat kepala dalam satu jasad yang kelak akan dihisab (hitung) pertamakali. Tetapi dibalik keistimewaan shalat, Allah mengancam bagi pelaku shalat dalam surat Al-Ma’un. Kenapa?

Karena shalat tidak sebatas hanya gerakan fisik tanpa (di)makna(i). Shalat harus dimaknai sebagai sumber inspirasi dan ketajaman nurani sosial. Kenikmatan merasakan “romantisisme” bersama kehadiran Tuhan dalam aktivitas shalatnya, harus dapat dan bisa dirasakan oleh orang lain. Terutama oleh orang yang mempunyai kebutuhan fisiologis tinggi (mustadh’afin, kaum lemah).

Barangkali inilah yang mendorong KH. Ahmad Dahlan selalu membacakan surat ini kepada murid dan jama’ahnya. Dalam ayat tersebut disebutkan orang yang celaka, yang mendustai shalatnya, yaitu orang yang menyengsarakan anak yatim dan kaum mustadh’afin. Dan dengan spirit ayat di atas pula beliau mendirikan Muhammadiyah yang bergerak dalam pelayanan sosial. Shalat merupakan hubungan pribadi dengan sang Pencipta, seharusnya dapat berdampak pada lingkungan sosialnya. Simbol shalat harus mampu diejawantahkan dengan menyantuni anak yatim dan kaum lemah lainnya.

Sebagaimana diungkapkan di atas, shalat pun sebenarnya simbol. Simbol yang lain, seperti jilbab, buku atau posmodernisme. Tetapi shalat bagaimanapun juga setidak-tidaknya mencitrakan ketaqwaan dan kesholehan masyarakat. Maka, maknailah simbol-simbol itu sebagai Inner state (pencerminan diri). Memang tidak sesederhana memaknai simbol shalat, karena shalat ada simbol diatas simbol.

Wafauqa kulli dzi ‘ilmin aliim.


Tidak ada komentar: