Senin, 31 Desember 2012

Setelah Sinetron, Boyband Lalu Apa Lagi?

ADAKAH pemain sinetron saat ini yang lahir dari sanggar seni atau teater? Rasanya minim sekali. Mungkin karena sinetron (kebanyakan) tak membutuhkan bakat atau keterampilan akting untuk pemerannya. Yang dibutuhkan sinetron hanya penampilan fisik. Pemeran Cuma perlu berpenampilan cantik atau ganteng, soal kemampuan akting bisa diatur belakangan. Jika tak cantik atau tampan, harus yang berpenampilan unik—untuk tidak mengatakan jelek banget. Toh, skenario dalam sinetron juga bukanlah konsep yang jelas. Jalan ceritanya bebas mengalir, berputar-putar dan semaunya sutradara atau produser. Banyak yang mengadopsi dan memodifikasi dari sinetron lain yang sama-sama minim kreativitas. Hanya beda judul dan nama tokohnya.

Selasa, 01 Mei 2012

Toleransi Omong Kosong

PANDANGAN sempit masyarakat tempat tingggalku menghalangi langkahku mereguk kebahagiaan dan kebebasan. Atas nama kemaslahatan, saya menyerah kalah. Walau saya tetap mengutuk pandangan sempit mereka. Tiada yang pantas dikasihani selain orang yang berpikiran sempit dan merasa benar sendiri.

===

TOLERANSI kadang hanya sebuah lelucon dan cerita omong kosong. Sesungguhnya kebanyakan muslim itu tak bisa menerima perbedaan dengan ikhlas. Padahal perbedaan itu jelas ada dan sengaja diciptakan oleh Tuhan. Tuhan tak menciptakan manusia dengan satu warna atau satu bahasa. Tidak juga satu agama maupun satu pemahaman, apalagi satu organisasi.

Ibadah Online

DUNIA maya itu bisa disebut dunia gratisan. Banyak hal bisa didapat dan dinikmati tanpa harus membayar—kecuali biaya akses tentunya. Kadang sesuatu yang di dunia nyata susah ditemukan, di dunia maya dengan beberapa kali klik ketemu apa yang dicari. Mungkin anda yang tinggal di kota kecamatan atau kabupaten kecil perlu berjuang keras mencari album Deep Purple, misalnya, atau lagu-lagu Ikang Fauzi diera keemasannya. Di dunia maya mencari lagu tersebut semudah menghidupkan kompor gas. Mencari buku klasik di kota kecamatan mungkin sama susahnya dengan mencari kadal yang ekornya bercabang dua. Tetapi di dunia maya, dengan bantuan Google atau Yahoo, semua itu dengan mudah didapatkan. Apalagi jika anda memiliki keterampilan menggunakan mesin pencari—dengan kode-kode tertentu,—sesuatu yang anda cari dengan cepat didapat tanpa tersesat di rimba maya. Anda yang punya keahlian beberapa bahasa asing akan lebih gampang lagi menjelajahi dunia maya, referensi bacaannya pun kian luas. Sekali lagi dengan gratis.

Sabtu, 31 Maret 2012

"Shalat Delisa," Kesalahan yang Disengaja

HAFALAN Shalat Delisa menjadi pemantik yang membakar perbincangan. Film yang diangkat dari novel Tere Liye terbitan Republika dianggap efek visualnya kurang menarik. Peran Nirina Zubir juga dirasa kurang tepat memerankan Ibu Delisa, karena kurang keibuan. Ada juga yang merasa sosok centil Nirina masih terlalu melekat dalam film Get Maried. Walaupun begitu film tersebut cukup menyentuh dan menginspirasi dibandingkan dengan film Indonesia kebanyakan, apalagi yang bertema setan.

Selain komentar soal film, ada juga yang memperbincangkan Hafalan Shalat Delisa dari sudut pandang bahasa Indonesia. Oleh pakar bahasa, penggunaan kata “shalat” dianggap tidak sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Makna Simbol ‘ah’

__Catatan narsis(isme).


MANUSIA hidup dengan sebuah simbol dalam hidupnya. Ia perlu sebuah tanda atau simbol untuk mengidentifikasikan dan membedakan dirinya dengan orang lain. Berkomunikasi dengan sesamanya dan dengan penciptanya. Simbol itu bisa berupa sesuatu yang berbentuk, berwarna maupun suara. Simbol adalah komunikasi mendalam tanpa bertele-tele berbicara, dan tak harus berpanjang-panjang dengan teks.

Simbol pun perlu konteks untuk bisa dimaknai dengan sempurna. Bentuk yang sama bisa berbeda makna jika konteksnya berbeda. Misalnya gerakan menggelengkan kepala disatu tempat berarti “iya” tetapi di tempat lain bisa bermakna “tidak.” Warna merah sebagian menganggap tanda yang mengerikan, tetapi sebagian yang lain simbol kebahagian, keindahan dan keagungan.

Sedikit Catatan Tentang Kawin Lari

MELARIKAN seorang perempuan—umumnya masih gadis—untuk dinikahi itulah kawin lari. Beberapa suku di Indonesia mengenal atau memiliki tradisi ini. Suku sasak di lombok, bali, bugis-makassar dan suku lampung adalah diantaranya. Di lampung kawin lari dikenal dengan istilah sebambangan, sedangkan di daerah lain mempunyai istilah sendiri. Merarik (sasak), pawiwahan (bali) dan silariang (sulawesi selatan). Kawin lari dianggap sebagai salah satu solusi untuk menyatukan cinta dua insan dengan cara yang mudah serta murah, namun berisiko. Konon, jika pihak keluarga si perempuan tidak menerima anaknya dibawa kabur, maka bisa terjadi perselisihan yang berujung pertumpahan darah antara dua pihak keluarga.

Seperti telah dijelaskan, kawin lari hanyalah alternatif. Proses penyatuan cinta dua insan pada umumnya tetaplah melalui proses peminangan kemudian terjadi pernikahan. Kawin lari pun akan berujung pernikahan sebagaimana biasa jika kedua pihak keluarga menyetujuinya. Pihak laki-laki juga tetap memberikan mahar atau pemberian kepada pihak perempuan.

Di beberapa wilayah di Provinsi Lampung, saat ini sebambangan sudah tidak banyak dilakukan, namun di sebagian kecil wilayah yang lain, kawin lari masih menjadi hal yang lumrah.

Jumat, 02 Maret 2012

Poligami


POLIGAMI menjadi tema yang tak pernah selesai. Wacana poligami menarik dari sisi sosiologis maupun dari sisi keagamaan. Secara umum wanita tegas menolak poligami. Sedangkan umumnya laki-laki setuju—bahkan mau dan mempunyai niat—untuk berpoligami. Hanya sebagian kecil dari perempuan yang setuju dan mau dipoligami dan sebagian kecil juga laki-laki yang menolak poligami.

Penulis sendiri bukanlah orang yang pro maupun kontra dengan poligami. Jadi dianggap setuju juga bukan, dianggap tidak setuju juga tidak. Karena poligami terkadang bisa menjadi solusi (katup sosial), tapi dari sudut dan situasi yang lain poligami juga menjadi penyakit dalam sebuah perkawinan.

Empat Tingkat Kebahagiaan

BAHAGIA adalah kata yang paling sering diucapkan dalam doa. Doa saat ulang tahun, pernikahan, doa sesudah shalat maupun dalam acara-acara seremonial. Sepertinya setiap orang merindu-dambakan kebahagiaan. Sayangnya tidak semua orang tahu apakah arti kebahagiaan, jalan menuju kebahagiaan dan apa yang bisa benar-benar membahagiakan dirinya.

Memang sulit merumuskan definisi bahagia. Ada yang menganggap kebahagiaan ada pada harta yang banyak. Maka harta benda pun dikejar dengan segala cara. Yang lain mengira kebahagiaan adalah hidup bersama kekasih dengan cinta sejati, lalu perburuan pacar pun dimulai. Rela melakukan apapun demi (katanya) cinta.Tidak cocok dengan satu orang, mencari lagi yang lainnya begitu seterusnya berganti-ganti. Ada juga yang merasa menemukan kebahagiaan pada makanan dan minuman yang enak-enak. Kebahagiaan adalah memeliki wajah yang rupawan, harta banyak, pendamping yang elok dan memiliki rumah bagus, begitu pendapat yang lain mengatakan. Begitulah manusia mencoba menemukan kebahagiaan. Tetapi setelah semua materi didapat tak ada kebahagiaan yang memuaskan dan kekal.

Ponsel Berdering Saat Sholat

JIKA kita shalat jamaah di masjid, seringkali terdengar dering ponsel entah darimana sumbernya. Padahal di tembok masjid sudah ditempel tulisan “Demi kekhusyukan beribadah, harap HP dimatikan.” Sebelum shalat jum’at pun pengurus masjid tak bosan-bosannya memperingatkan untuk melakukan hal itu—mematikan ponsel. Tetapi orang Indonesia, termasuk yang muslim, kebanyakan bukanlah orang yang taat hukum, jadi peringatan apapun kerap diabaikan. Termasuk peringatan mematikan ponsel. Saya tidak tahu apakah di gereja, juga di tempat ibadah lainnya terjadi hal yang sama.


Jika kita sedang berjamaah di masjid, tapi masih saja ada ponsel berdering, ada beberapa kemungkinan mengapa hal itu tetap terjadi. Pertama, mungkin dia (pemilik hp) lupa. Lupa mematikan ponsel karena jarang ke masjid, jadi tak pernah membaca peringatan di tembok masjid. Dugaan ini saya kira kecil sekali kemungkinannya. Kedua, ia gagap teknologi. Kecanggihan ponsel cerdas tidak diimbangi dengan kemampuan mengoperasikan fiturnya.

Sabtu, 04 Februari 2012

Melawan dengan Manis


SUNGGUH benar—setidaknya menurut saya—apa yang dikemukakan oleh penulis buku Orientalisme, Edward. W. Said, bahwa tak seorangpun kini yang benar-benar satu hal. Dunia tidak satu atau dua warna, tapi banyak warna. Karena semuanya (orang dan sesuatu) berbaur, berinteraksi, mempengaruhi dan saling dipengaruhi. Batas-batas yang dulu tampak jelas, kini buram dan sirna.

Hal ini selaras dengan apa yang menjadi salah satu “dasar pemikiran” posmodernisme, tentang ketiadaan kebenaran yang benar-benar mutlak, tetapi segalanya itu relatif. Klaim maupun tuduhan kepada pihak ekstrim, kolot tidak selamanya berlaku. Yang (katanya) moderat, justru terkadang dalam hal yang lain sangat konservatif. Konservatif pun pada awalnya atau diakhirnya akan tampak moderat, bahkan bisa berubah liberal. Sementara yang moderat, yang membanggakan diri dengan kemoderatannya bisa terperosok kepada sifat dan sikap yang kolot. Tetapi untuk beberapa hal, menurut saya sikap “ekstrem” memang harus dipertahankan.

“Homo Symbollicum” dan Simbol Shalat

PADA dasarnya manusia adalah satu-satunya makhluk hidup yang selalu menggunakan simbol-simbol. Baik untuk sekedar identitas, maupun sebagai pemaknaaan atas suatu hal yang diyakini kebenarannya—simbol ideologi misalnya. Maka tak heran munculah istilah ”homo symbolicum”—yang mengambarkan manusia sebagai pengguna simbol.

Orang Yahudi, sangat membanggakan topi kecil yang diselipkan di ujung belakang kepalanya atau bintang david—bintang bersisi enam—sebagai simbol keyahudian. Bulan sabit, Jilbab dipersepsikan atau diidentikkan dengan umat Islam. Belum lagi simbol merah, hijau, suara, kiri, kanan, tengkorak, martil, sarung, jari tengah dan seterusnya. Yang secara sadar atau tidak simbol-simbol tersebut dipakai dan digunakan orang. Baik tahu maknanya maupun tidak.

Pengalaman Spiritual


‘PERISTIWA 911’ tahun 2001 yang meruntuhkan gedung kembar World Trade Center—pusat perdagangan dunia—memang membawa implikasi yang dahsyat bagi segala sektor kehidupan, utamanya bagi umat Islam. Karena pelaku peledakan yang menggunakan pesawat Boeing tersebut telah dialamatkan kepada umat Islam sebagai teroris, tentunya dengan perspektif Amerika.

Tetapi, ada salah satu hikmah dibalik semua itu. Blessing in disguise, istilahnya. Dikabarkan oleh sejumlah media, ribuan warga Amerika di Boston diam-diam merasa tertarik dengan Islam yang dianggap sebagai biang teroris itu. Mereka yang awalnya tidak tahu Islam, mencari tahu apa sebenarnya Islam itu. Mereka penasaran. Sebagian warga Amerika yang tertarik itu hanya sekadar ingin tahu saja, sebagian lagi memilih Islam sebagai jalan hidupnya. Umat Islam di sana pun mulai gencar melakukan kajian keislaman. Diantaranya bertujuan mensosialisasikan Islam yang sebenarnya, bukan seperti tuduhan media-media asing.

Setelah Jobs Pergi

: Mengenang 120 hari kepergian Steve Paul Jobs

SEORANG laki-laki kurus duduk tak tenang dikursi ruang tamu sebuah perusahaan komputer Atari. Berjam-jam lamanya ia tetap tak beranjak dari tempat itu. Ia mendekap berkas lamaran kerja. Pimpinan perusahaan sudah memberikan jawaban bahwa sang lelaki kurus itu tidak bisa bekerja di perusahaannya. Alih-alih beranjak pergi, lelaki itu tetap menunggu kepastian bahwa dirinya layak bekerja di perusahaan itu. Atari kemudian menerima si lelaki tersebut, daripada harus memanggil polisi untuk mengusirnya. Lelaki itu bandel itu bernama Steve Paul Jobs.


Cerita itu memberikan sedikit gambaran bagaimana kekerasan hati Jobs untuk ketika menginginkan sesuatu. Ia begitu yakin dan pantang menyerah, karena ia yakin ia mampu. Dalam kisah lain, ketika Jobs bekerja di Apple Inc. (dahulu bernama Apple Computer Inc.) untuk membuat komputer pertama kali bersama rekannya, Steve Wozniak, mereka kehabisan material. Jobs tak segan-segan menelpon Bill Hewlett untuk membantunya memasok material kebutuhannya, meskipun ia sebenarnya tidak mengenal bos Hewlett Packard tersebut. Lagi-lagi Jobs tidak menyerah sampai ia mendapatkan material untuk komputer Apple-nya.

Agama Praksis versus Agama Wacana


SEJARAH kelahiran agama memang masih banyak orang yang memperdebatkannya, namun untuk apa agama dilahirkan, rasanya kita sepakat, yakni sebagai penenang jiwa sekaligus petunjuk hidup (way of life). Meskipun demikian, kelahiran agama tidaklah berjalan dengan mulus, ia dipenuhi dengan rintangan. Karena agama selain punya misi menentramkan, ia juga lahir untuk mendobrak beragam kerusakan dan ketidakadilan. Untuk kemudian menciptakan kehidupan yang penuh keharmonisan dan kedamaian bagi semua makhluk.

Sebagaimana agama lainnya, kelahiran agama Islam sejak awal pun sangat mengguncang, karena agama ini telah berani merubah tatanan yang telah mapan saat itu. Kalau agama sebelumnya umumnya hanya mengajarkan tentang bagaimana berhubungan dengan Sang Pencipta, bagaimana berbuat baik terhadap sesamanya. Namun Islam lebih dari itu semua.

Jumat, 20 Januari 2012

Makna Ulang Tahun

:Juga untuk yang hari ini ulang tahun.

Hari lahir, pada hakikatnya adalah pengulangan nostalgia. Nostalgia kelahiran. Seseorang senantiasa ingat dan senang dengan masa lalu. Seringkali dirinya membandingkan apa yang dirasakannya hari ini dengan hari-hari yang telah lewat. Melihat apa yang telah didapatkannya hari ini dan apa saja yang belum tercapai.

Mengenang hari lahir kini telah menjadi budaya massa, khususnya di kalangan anak-anak dan generasi muda. Berbeda dengan generasi (tua) dahulu yang tidak menganggap penting sebuah hari lahir. Ini terbukti banyak yang tidak ingat kapan dirinya lahir—hari apa, tahun berapa—apalagi sampai merayakannya. Mungkin sebagian orang ada yang ingat hari atau waktunya dari cerita orang tuanya. Misalnya kalau orang jawa ingat kalau ia lahir pada Sabtu Wage, Pahing, Legi atau Pon. Lahirnya pagi hari atau malam hari, tapi tidak tahu tajun berapa. Namun bagi generasi sekarang mengenang atau merayakan hari lahir seolah menjadi bagian penting dalam hidupnya.

Kesepian, Kamu, Aku dan Sesuatu yang Lain


Kesepian ini begitu mendera
Sebelum kau datang menawarkan sepucuk kata berlumurkan embun
Embun yang lama dirindukan tangkai hatiku
Datanglah selalu dan mendekaplah, agar menjadi pohon tak rapuh

Tahukah kau, kutasbihkan namamu hingga tepi malam dan ujung siang
Kulukiskan pada kulit harapan
Kuceritakan indahmu pada kupu-kupu, angin dan hujan
Sesekali kulilitkan namamu di bangku senja hingga ia tersipu

Kamis, 19 Januari 2012

Pertemuan

Apakah sesungguhnya makna sebuah pertemuan? Pertemuan ibarat menyusun kepingan-kepingan puzzle dalam kehidupan. Setiap pribadi kita adalah kepingan-kepingan puzzle itu. Saat kepingan-kepingan disatukan, disanalah keindahan mulai nampak. Seperti ada cerita yang mulai bermakna. Sayangnya, puzzle itu tak pernah selesai disatukan. Ia terlalu luas dan panjang. Seluas kehidupan itu sendiri.

Puzzle menjadi indah karena banyak warna dan pola. Tapi mengapa kita hanya menyukai dan menginginkan warna yang sama. Pertemuan adalah sebuah warna, dan perpisahan adalah warna yang lainnya.

Sebuah pertemuan pada dasarnya dilahirkan kembar siam dengan perpisahan. Mungkin sebagian dari kita lebih senang dengan perpisahan, karena tak nyaman dengan hadirnya sebuah pertemuan.

Minggu, 08 Januari 2012

Di Kaki Gunung Pesagi

KISAH ini terjadi beberapa waktu yang lalu. Karena itu sengaja kuceritakan, karena jika tidak, cerita ini akan hilang. Aku berharap temanku akan menceritakannya kepada yang lain.

“Aku adalah pengembara,” begitu kuawali ceritaku pada seekor kucing hitamku. Kucing itu hanya menggerak-gerakkan kepalanya ke kakiku. Tak perlu persetujuan darinya aku melanjutkan ceritaku. “Telah banyak tempat di negeri ini yang aku datangi. Dari satu tempat ke tempat lain. Dari pulau satu ke pulau lain di negeri ini. Kampung dan desa kumasuki. Kota demi kota tak luput dari pengembaraanku. Aku beruntung hidup di era transportasi dan teknologi. Dengan demikian pengembaraanku bukanlah pengembaraan seperti pada kisah Brama Kumbara yang berjalan kaki atau naik kuda. Terkadang aku naik roda dua, bus, kereta api ataupun kapal laut. Satu yang tak pernah kucoba adalah pesawat udara, sebab kudengar pesawat terbang di negeri ini tak begitu layak terbang.” Kucing di sebelahku masih diam saja.