Senin, 03 Mei 2010

Awal Mula Adanya 'Halaman Judul' di Buku



Pernahkah Anda memperhatikan bahwa sebuah skripsi atau tesis untuk meraih gelar kesarjanaan tertentu di perguruan tinggi biasanya membuat halaman khusus untuk judul?

Pernahkah Anda memperhatikan pula bahwa beberapa buku bersampul keras (hard cover) memiliki beberapa tempat untuk meletakkan judulnya, seperti di jaket, sampul, dan halaman pertamanya?

Halaman judul sebenarnya halaman khusus dalam dunia penerbitan. Tapi, bentuk halaman judul seperti buku-buku saat ini belumlah muncul hingga awal abad ke-16 di Eropa.

Secara historis halaman judul pada mulanya tidaklah khusus. Penerbit semula mencetak naskahnya sejak halaman pertama sebuah buku, yang kini kita sebut sampul buku tersebut.

Tapi, jangan bayangkan bahwa tampilan halaman itu seperti sampul sekarang. Buku-buku terbitan pertama hanya mencantumkan apa yang disebut incipit, yakni baris pertama atau beberapa kata awal dari sebuah naskah.

Nah, "judul" inilah yang diletakkan di lembar pertama dari sebuah buku. Tapi, helai pertama ini mudah rusak, bahkan bisa hilang, karena kala itu jenis kertas di halaman pertama ini sama dengan halaman dalam, sehingga format buku jenis awal ini seringkali ditemukan tanpa halaman pertamanya.

Karena pengalaman semacam ini, para penerbit pada masa 1460-an mulai mencetak buku-buku dengan naskah yang dicetak mulai pada lembar kedua buku. Lembar pertama dibiarkan kosong. Kadangkala lembar terakhir mereka biarkan kosong juga.

Lembar-lembar kosong inilah yang nantinya berkembang menjadi sampul, yang belakangan makin disempurnakan dengan membuat lembar tersebut lebih keras atau lebih tebal untuk menjadikannya benar-benar sebagai pelindung sebuah buku.

Di awal 1480-an percetakan mulai membuat teks sederhana yang diterakan pada sisi depan lembar pertama. Inilah cikal bakal judul pada penerbitan buku modern.

Namun, baru seabad kemudian muncul buku-buku yang memuat halaman judul yang diperindah dengan dekorasi atau hiasan tertentu yang menarik.

Pada perkembangannya sisi depan lembar kedua juga memuat judul buku tersebut dan mencantumkan informasi bibliografis di sisi belakangnya. Inilah yang kini menjadi format standar buku-buku modern.

Sumber Tempo/Matabaca

Pembatas Buku


Ada beberapa cara menandai halaman buku yang sedang kita baca. Di masa lalu ada kebiasaan yang lazim dilakukan, yakni melipat sudut atas halaman itu—dari sinilah diperoleh ilham untuk nama rubrik “Sudut Lipatan”. Arah lipatan menunjukkan halaman mana yang terakhir kita baca, yang ganjil atau yang genap.

Namun, melipat halaman buku bukanlah cara yang patut ditiru, sebab akan merusak buku. Bayangkan bila kita membaca dengan begitu lambat, pasti akan banyak sudut halaman yang kita lipat. Jika satu hari cuma membaca satu halaman, sudut yang sama akan dilipat dua kali: mula-mula ke halaman ganjil, lalu ke halaman genap. Lama-lama, halaman itu patah sudutnya.

Mimpi (29.04.10)

29.04.10: Ini dia hari yang menyenangkan. Apa yang saya tulis di Facebook bisa muncul dalam mimpi. Saya menulis tentang hasil pertandingan semi final Liga Champion antara Internazionale melawan Barcelona,--juga menonton secara live--dini hari tadi. Eh siapa sangka dalam tidur bisa bertemu Zlatan Ibrahimovic dan kawan-kawan. Bahkan mereka (tim Barca) main kerumah, mandi2 dan tiduran ditempatku sehabis pertandingan. Ibrahimovic ternyata pandai bahasa Indonesia, saya banyak ngobrol dengannya.

Mimpi yang lain adalah apa yang saya tulis dengan: Waktu N.A.Y.L.A. (Bagi sebagian orang mungkin tahu maksudnya, tapi saya punya catatan yang lain soal dua kata tersebut). Apa yang disebut "Waktu NAYLA" tersebut juga hadir di bunga tidurku dengan sangat menyenangkan. Demi keamanan dalam negeri (Internal Security Act/ISA) maka saya tidak menjelaskan secara spesifik.

Sungguh menyenangkan apabila apa yg kita tulis dapat "hidup" dalam kenyataan. Walaupun cuma dalam mimpi, ya bolehlah.

Sembilan Menit Dihari Jumat

Kemarin/ kau buat layar ponselku berdering//
Isyarat yang tak biasa/ Hari ini kau meninggalkan jejak panggilan tak terjawab// Jejakmu di ponselku bukanlah hal biasa//
Kau pasti ingin mengabarkan///

Di telepon/ kita bicara tentang hal yang itu itu saja//
Mengapa kita tak bicara tentang warna hijau lumut//
Atau warna lain yang lama kita lupakan//
Bila esok rahasia itu pudar//
Tahan saja nafas kita//
"Aku tak punya fesbuk/" kau berkata//
"Tolong kabari aku lain waktu//"
"Berbahagialah yang tak punya fesbuk/" kataku//


--e.d.s.
Jumat, 22 April 2010