Sabtu, 14 Agustus 2010

Si Tukang Jahit

Ilustrasi
Ramadhan tahun ini saya teringat kembali dengan cerpen dari Agus Noor, berjudul Tukang Jahit. Saya tak ingat persis kapan cerpen itu dibuat, tapi yang jelas saya pernah membacanya.

“Tukang jahit itu selalu muncul setiap kali menjelang Lebaran. Kata orang, ia tak hanya bisa menjahit pakaian. Ia juga bisa menjahit kebahagiaan. Tukang jahit itu punya jarum dan benang ajaib yang bisa menjahit hatimu yang sakit. Jarum dan benang, yang konon, diberikan Nabi Khidir dalam mimpinya.” Begitu Agus Noor mengawali ceritanya.

Waktu itu tukang jahitnya tidak hanya satu tapi banyak tukang jahit. Mereka tukang jahit keliling. Semua penduduk kota menyambut si tukang jahit dengan riang. “Tukang jahit datang! Asyiik! Lebaran jadi datang!” begitu anak-anak berteriak. Seakan-akan bila para tukang jahit itu tak muncul, maka Lebaran tidak jadi datang ke kota itu.



Satu persatu penduduk kota menjahitkan pakaiannya. Dengan lincah tukang jahit “menyulap” kain warna-warni menjadi pakaian yang indah dan bagus-bagus. Anak-anak berceloteh riang tentang baju baru yang akan mereka kenakan untuk lebaran. Antara penduduk kota dan tukang jahit seolah saling membutuhkan. Istilah anak sekolahnya simbiosis-mutualisme.

Tapi semakin lama kian menyusut tukang jahit yang muncul ke kota itu. Hal itu terjadi sejak munculnya majalah-majalah fashion, menjamurnya butik-butik dan gerai factory outlet, distro serta pusat-pusat perbelanjaan. Tukang jahit lebih banyak menganggur, menghabiskan waktu dengan menghisap gulungan tembakau, beberapa yang lain mungkin telah meninggal, sementara anak-anaknya tak mau melanjutkan menjai tukang jahit. Penduduk kota seperti telah tidak membutuhkan lagi jasa tukang jahit itu. Sudah sejak lama menjelang lebaran tak terdengar lagi teriakan anak-anak menyambut tukang jahit.

Di kota itu hanya tinggal satu tukang jahit. Ia seperti laskar prajurit yang tersisa dari medan perang. Tanpa lelah ia menjajakan jahitan. Meski tak banyak, masih ada satu dua orang, umumnya orang tua, yang datang padanya. Ada yang minta dijahitkan pakaian tapi ada juga yang minta dijahitkan kebahagiaannya yang telah robek. Orang tak hanya ingin baju untuk lebaran, tapi juga ingin bahagia saat lebaran. Bila ada orang sedih yang datang padanya, maka tukang jahit itu akan menjahit hati orang yang lagi sedih itu. Di tangan tukang jahit itu, kebahagiaan yang robek dan koyak menjadi seperti selembar kain lembut yang bisa dijahit kembali. Ia menjahitnya dengan rapi, halus, dan membuat orang-orang itu merasa tenteram.

Lama-kelamaan tukang jahit itu tak muncul lagi. Penduduk pingiran kota yang selama ini melupakan jasa tukang jahit mengharapkan datangnya si tukang jahit satu-satunya. Bukan untuk menjahit pakaian, tetapi menjahitkan kebahagiaan mereka yang hilang menjelang lebaran. Sudah beberapa tahun menjelang lebaran harga-harga naik, sembako melambung tinggi, tarif, listrik naik. Hal itu membuat penduduk kota seperti kehilangan kebahagiaan menjelang lebaran. Padahal semua orang ingin bahagia menjelang lebaran.

Di televisi kulihat antrian orang seperti hendak membeli minyak tanah. Mungkin kebahagiaan memang seperti minyak tanah, langka dan mahal. Beberapa orang kulihat meneriakkan mahalnya bahan pokok, petani mengeluhkan harganya pupuk dan obat-obatan. Disana-sini sering kulihat dan kudengar orang menangis, hatinya robek dan terbakar sebab tetangganya, sahabatnya, anggota keluarganya tewas karena ledakan tabung gas. Diam-diam saya pun merindukan hadirnya si tukang jahit itu. Tukang jahit yang bisa menjahit kebahagiaan setiap orang agar bisa berbahagia, minimal menjelang lebaran.[]
Jumat, 3 Ramadhan 1531 H / 13 Agustus 2010

2 komentar:

handayaningrum mengatakan...

Mir, adakah hubungan si tukang jahit dengan bulan ramadhan?a

Amirul Huda mengatakan...

ceritanya ada. terutama sekarang tukang jahit agak kurang diminati. orang lebih suka belanja di mall. nah dalam cerita itu oarang rindu pada tukang jahit yang tidak hanya bisa menjahit pakaian, tapi juga bisa menjahit kebahagiaan.