Sabtu, 14 Agustus 2010

Si Tukang Jahit

Ilustrasi
Ramadhan tahun ini saya teringat kembali dengan cerpen dari Agus Noor, berjudul Tukang Jahit. Saya tak ingat persis kapan cerpen itu dibuat, tapi yang jelas saya pernah membacanya.

“Tukang jahit itu selalu muncul setiap kali menjelang Lebaran. Kata orang, ia tak hanya bisa menjahit pakaian. Ia juga bisa menjahit kebahagiaan. Tukang jahit itu punya jarum dan benang ajaib yang bisa menjahit hatimu yang sakit. Jarum dan benang, yang konon, diberikan Nabi Khidir dalam mimpinya.” Begitu Agus Noor mengawali ceritanya.

Waktu itu tukang jahitnya tidak hanya satu tapi banyak tukang jahit. Mereka tukang jahit keliling. Semua penduduk kota menyambut si tukang jahit dengan riang. “Tukang jahit datang! Asyiik! Lebaran jadi datang!” begitu anak-anak berteriak. Seakan-akan bila para tukang jahit itu tak muncul, maka Lebaran tidak jadi datang ke kota itu.

Menghormati yang (tidak) Berpuasa

Satu hal yang mengusik pikiran saya ketika menjelang ramadhan adalah, mengapa semua orang diminta untuk menghormati bulan ramadhan, khususnya menghormati orang yang berpuasa? Orang yang biasa berjualan makanan diminta untuk menutup(i) warung jualannya. Hiburan malam pun harus menutup hiburan malamnya. Mengapa untuk berpuasa ramadhan semua “godaan” itu harus ditertibkan oleh pemerintah, bukan oleh hati kita? Tidak cukup kuatkah kita berpuasa kalau dikanan-kiri kita ada orang yang menjual makanan atau ada orang yang makan? Jika jawabannya ya, maka puasa kita tak ubahnya seperti puasa anak-anak yang baru belajar berpuasa.

Ramadhan adalah bulan suci. Ramadhan akan tetap suci bahkan jika kebanyakan orang tidak menghormatinya atau tidak berpuasa. Kesucian ramadhan bukan kesucian fisik, melainkan kesucian bathin. Puasa ramadhan atau puasa yang lainnya (puasa sunah) adalah ibadah personal, yang sah-tidaknya hanya Allah yang tahu. Khusus untuk puasa ramadhan bahkan Allah yang akan membalas pahalanya secara lansung, tanpa perantara malaikat.