Senin, 27 April 2009

Cerita tentang buku dan kita


BERAPA buku yang dihasilkan Indonesia tiap tahun? Sumber dari Kompas Menyebutkan hanya sekitar 2000 judul buku saja. Bandingkan dengan negara tetangga Thailand yang mampu menerbitkan sampai 6000 hingga 8000 judul buku. Hitung juga berapa jumlah buku yang dicetak tiap judulnya? Tak lebih baik dari sebuah kaset Indie. Belum lagi kalau harus menghitung berapa buku yang dicetak tersebut dibaca orang. Saya kira prosentasenya lebih kecil lagi. Adapun separuh lebih buku-buku yang ada di negeri ini adalah buku hasil terjemahan. Yang juga sama ironisnya, tidak dibaca orang.

Tentang sebuah buku terjemahan, Jacob Oetama bercerita. Bos grup Kompas-Gramedia ini bertutur tentang novel populer di seluruh dunia, yang juga diangkat ke layar lebar,—yang sama-sama digemari dan masuk kategori Box-office—buku tersebut adalah buku Harry Potter karya J. K. Rowling. Jacob ikut bangga ketika buku Harry Potter jilid pertama yang dicetak Gramedia mampu terjual 15.000 eksemplar. Dan untuk cetak ulang yang kedua juga mampu terjual 15.000 eksemplar. Begitula informasi yang ia dapatkan dari salah seorang editor penerbit Gramedia. Tetapi ia sempat terkaget ketika “anak buahnya” menambahkan informasi, bahwa di Thailand Harry Potter mampu tercetak 100.000 eksemplar—itupun untuk cetakan pertama. Di Taiwan setelah dicetak berulang kali sampai 300.000 eksemplar. Begitu juga di Australia tercetak rata-rata 200.000 eksemplar untuk jilid 1, 2 dan 3.

Membaca buku adalah ibadah


MEMBACA buku adalah ibadah. Itulah kesimpulan yang dapat saya ambil ketika membaca, memaknai dan mengambil hikmah dari membaca QS. Al-‘Alaq. Sebuah pembacaan dengan sangat sederhana. Dalam ayat yang diturunkan pertama kepada Nabi Muhammad tersebut, kalimat yang juga pertama adalah “Bacalah”. Membaca memang tidak hanya pada sesuatu yang literal atau tekstual saja, tetapi juga menangkap makna dari hal-hal di luar konteks, dan bahkan lebih luas lagi. Misalkan membaca tanda-tanda kebesaran Tuhan. Karena ada perintah dari teks suci untuk membaca, maka membaca buku—sebagai bagian dari membaca yang sederhana,—adalah juga ibadah. Sebagaimana membuang duri dari jalan yang juga menjadi bagian dari cabang iman,—meskipun paling kecil.

Kau dan Cerpenmu; Ketika Aku Dipaksa Bicara

Pengantar: Tulisan ini adalah sebuah yang secara tak sengaja aku temukan di file yang lama tak aku buka. Awalnya tersimpan dalam forman CD-R/W. Tulisan ini adalah sebuah “obrolanku” dengan seorang kawan. Saya kira hanya kawan yang bersangkutanlah yang mengerti akan tulisan ini (kalau masih ingat). Sebagai kenang-kenangan dan juga karena sayang kalau di delete, maka lebih baik aku posting saja. Jika saudara/i, tuan dan puan mau membaca silahkan saja, mungkin ada manfaatnya.
===
KETIKA aku diminta untuk mengkritik, mengomentari atau apapun namanya untuk sebuah cerpenmu, aku sudah berpikiran ragu sebelumnya, dan sebenarnya sedikit malu. Kenapa? Karena aku sendiri toh tidak bisa membuat cerpen. Aku pernah membuat cerpen dua buah, tapi satunya hilang ketika sebelum sempat di print out. Satunya masih tersimpan di kamar tapi entah di mana. Tentu saja dua cerpenku itu adalah karya perdana yang tidak ada bagusnya mungkin, tapi cukup berkesan lho membuatnya, ada sebuah pengalaman batin di dalamnya. Tapi oke deh, karena mengomentari orang lain toh pada dasarnya mengomentari diri sendiri. Mengkritik orang lain juga mengkritik diri sendiri. Kamu jangan merasa dikritik, anggap itu juga kritik buatku. Sebenarnya kritik ini punyaku hanya saja kamu boleh baca, itu saja.

Buku (Apa) yang Kita Baca?


SEORANG teman—perempuan—pernah beberapa kali memintaku untuk menyebutkan sebuah judul buku yang aku suka, atau menyebutkan buku yang menurutku sebaiknya dia baca. Kemudian dia berjanji akan membacanya atau sekaligus membelinya jika punya uang. Karena tampaknya dia ingin berdiskusi denganku maka aku menyarankan saja untuk membeli buku yang sudah kumiliki, jadi tidak akan merepotkan jika harus berdiskusi dengannya. Karena aku dan dia (telah) membaca buku yang sama. Aku pikir-pikir rupanya aku disuruhnya untuk mengetes kemampuannya. Mungkian dia mau sedikit menyombongkan kehebatan daya ingatnya padaku, ini sih cuma pikiranku saja. So, aku suruh dia untuk mencari buku “Jejak Posmodernisme di Indonesia” karya Radhar Panca Dahana.

Beberapa hari kemudian…