Sabtu, 04 Juli 2009

Surat untuk Sahabat


SOAL e-mailmu yang kau kirimkan beberapa waktu yang lalu rasanya tak etis kalau aku juga tak membalasnya. Sebenarnya memang bukan persoalan etis atau tidak etis, tapi mungkin persoalan penghargaan. Aku sangat menghargai (tulisan) seorang teman, dan aku tak ingin mengecewakannya. By the way, dalam dialog singkat kita lewat sms (short message service--pen), kita (tepatnya aku) pernah mengatakan soal tulisan yang tak ABG atau dewasa. Setelah aku pikir-pikir cukup merepotkan. Kenapa? Dewasa itu seperti apa sih? Apakah dewasa itu terukur? Oleh apa? Pikiran? Tingkah laku? Apakah dewasa berlaku sama untuk semua orang? Maksudnya, apakah saat aku berfikir dan bertindak yang menurut orang lain dikatakan dewasa, apakah ketika orang lain melakukan hal yang sama ia juga dikatakan dewasa?

Soal kedewasaan aku sangat terkesan dengan film "Undercover Girl". Seorang gadis kecil dalam film itu dalam banyak hal menurutku lebih berfikir dewasa dari pada ibunya yang wanita karir, atau dari Babysitter-nya yang juga seorang penulis (gagal?). Dalam buku "Gadis Kecil di Tepi Jendela" karya Tetsuko Kuronayagi pun demikian. Si Toto Chan mampu bertindak dewasa dari pada orang yang lebih tua. Jadi dewasa itu seperti apa?

Aku percaya apapun yang ada dalam dunia ini tak ada yang benar-benar satu hal. Misalnya, perempuan tidaklah sepenuhnya benar-benar perempuan, karena ia juga mempunyai sifat laki-laki, juga sebaliknya. Adakah seseorang yang benar-benar Sosialis atau sungguh-sungguh Kapitalis sekarang ini? Dan tak ada orang yang bener-benar kekanakan, atau dewasa tanpa ada sifat kekanakan dalam dirinya. hanya saja mungkin ada yang lebih dominan dari yang lain dalam satu sisi. Dewasa itu yang seperti apa, sepertinya banyak orang punya pandangan lain. Dalam kedewasaan akan kita temukan sifat kekanakan. Dan dalam diri anak-anak kadang kita temukan juga sifat kedewasaan. Membaca bukunya Andreas Harefa (Manusia Pembelajar), aku mulai mendapatkan pencerahan. Bahwa aku tak boleh mengaku sudah dewasa, kapanpun itu. Kedewasaan adalah proses yang terus menerus. Saat aku sudah merasa dewasa misalnya karena sudah berumur 20-an, sudah menikah atau sudah bekerja dan tak "menetek" lagi pada orang tua berarti aku menghentikan proses kedewasaan yang sebenarnya tidak boleh berhenti.

Lalu..

Disini aku tak akan menuliskan karya utuhku dalam pengertian yang baku. Dalam keseharian aku memang menulis (membuat) puisi sederhana di diary-ku, dan tentu saja catatan harian. Disini aku menuliskan sebagian kegelisahanku dalam tulisan yang sederhana saja, anggaplah aku sedang bercerita atau sedang curhat kepadamu.

Pada Mulanya Diriku.

Lahir dan besar dalam lingkungan dan keluarga yang cukup mengerti agama,—mengerti dalam pengertian tradisional—aku tidaklah menjadi seorang anak laki-laki yang suka “memberontak”. Entahlah kalau aku lahir di kotamu. Karena kehidupanku sejak kecil datar-datar saja, aku tak tahu untuk apa memberontak, dan apa yang harus diberontak. Saat kecil aku bahkan menjadi anak yang pemalu dan penakut—dan mungkin manja, karena sembilan tahun lamanya aku jadi anak bungsu, sebelum pada akhirnya aku punya adik perempuan.

Diusia yang beranjak remaja, aku mendapatkan teman-teman baru di sekolah dan di luar sekolah saat aku bermain. Ada teman yang baik, juga ada teman yang nakal (tetapi mengasyikan). Mereka mengajakku melihat sisi-sisi dunia yang hijau. Meski aku bergaul dengan anak-anak yang tak sepenuhnya baik, beruntung aku masih takut untuk mencoba-coba segala yang hitam. Dalam keterbatasanku aku menikmati masa-masa remaja dengan teman-teman, dengan keluarga dan dengan TV. Kotak ajaib itu membantuku mengetahui dunia luar, meskipun semu. Diusia saat itu aku tak begitu banyak kegelisahan, mungkin karena aku memang tak banyak berfikir dan menginginkan yang aneh-aneh. Yang paling menggelisahkan mungkin teman sekelasku yang kuanggap begitu cantik saat itu, tapi aku tak berani mengatakan padanya soal ketertarikanku. (Mungkin memang persoalan lawan jenis adalah hal yang paling meresahkan pikiran diusia remaja). Aku tak punya pengalaman yang menarik soal percintaan dunia remaja, jadi tak ada alasan buatku untuk punya rasa sakit hati karena “cinta”.

Saat di dunia kampuslah aku merasakan perubahan besar dalam diriku. Aku seperti berdiri di sebuah dataran tinggi. Dari sana aku bisa melihat banyak hal yang sebelumnya tidak pernah aku dengar, aku lihat dan aku rasakan. Setelah aku punya kartu mahasiswa aku mulai berkenalan dengan apa yang dinamakan filsafat, politik, sastra, Islam—dengan banyak pen-sifat-annya; kanan, kiri, liberal—Sosialisme, Kapitalisme sampai wacana Posmodern. Jelas aku tergagap (di)kenal(kan) dengan hal-hal yang baru semacam itu. Karena ketika aku masih sering di rumah aku paling hanya mengenal lagu-lagu, klip-klip musik dan film. Dan kalaupun berbicara dengan teman sebaya, kebanyakan hanya membicarakan tentang makhluk perempuan. Aku berfikir saat itu, "Ternyata begini kehidupan kampus", "Begini rupanya jadi mahasiswa."

Sampai pada akhirnya...

Aku menemukan begitu banyak kejanggalan, yang tentu saja menggelisahkan. Hal ini setelah aku cukup intens bergabung dengan teman-teman di organisasi ekstra dan intra kampus. Begitu banyak persolan di dunia kampus dan di luar kampus. Bahkan dikalangan mahasiswa itu sendiri, termasuk juga dalam diriku. Mula-mula aku menemukan ruang berekspresi, kebebasan berfikir, temuan-temuan yang baru dan “seksi”. Dalam organisasi ekstra aku merasakan kelelahan dan juga keasyikan tersendiri. Tetapi kemudian aku memutuskan untuk mengurangi intensitas di komunitas tersebut. Aku merasa disana tak ada perjuangan dan nilai-nilai transformatif yang benar-benar membumi, tetapi hanya mengawang-awang tak jelas. Mau tidak mau aku harus memutuskan kemesraan semu itu. Bukan dengan kawan-kawan, tapi dengan wadah organisasi tersebut.

Sebagaimana teman-teman yang lain, aku juga merasakan kegelisahan. Di ruang-ruang diskusi kami sama-sama mencairkan kebekuan. Tentu saja dengan cara yang tidak terlalu serius. Kalau kami tidak bisa melakukan pemberontakan secara bersama-sama kami melakukannya secara sendiri-sendiri. Tetapi aku tidak pernah menggelisahkan tentang eksistensi Tuhan maupun segala sifat-Nya. Untuk persoalan Tuhan aku berfikir sederhana dan positive thinking saja. Tidak cukup alasan untuk mengatakan Tuhan tak ada atau telah mati. Terlalu naif menuduh Tuhan tidak adil. Pada awalnya aku tidak habis mengerti dengan kegelisahan sebagian teman-teman tentang Penciptanya, tetapi pada akhirnya aku bisa mengerti, karena pengetahuan seseorang itu tergantung latar belakang sosialnya, begitulah kira-kira kata Karl Mannheim dalam Ideology and Utopia-nya. Kegelisahan manusia akan Tuhan(nya) memang takkan pernah hilang selama manusia itu masih ada.

Kegelisahanku
Sampai saat ini aku masih bingung dengan yang namanya kebebasan. Apakah itu kebebasan berfikir atau kebebasan bertindak. Seberapa jauh aku bisa melakukan kebebasan? Saat aku ingin bertindak bebas, selalu ada tanggungjawab yang mesti aku laksanakan. Kadang aku melakukan sesuatu sebagai sebuah tuntutan atau kewajiban, tapi aku tak mendapatkan kebebasan disana. Aku bisa memilih jalan hidupku sendiri dan mungkin aku bisa kuat menahan penderitaanku karena pilihanku, tapi disisi lain aku masih terbebani dengan pandangan dan ucapan orang lain. Mungkin kamu juga pernah meneriakkan "Free Think(er)", tetapi aku kembali berfikir bebas dari apa? Dan untuk apa aku bebas? Inilah yang belum aku temukan jawabannya. (Kamu pernah berfikir seperti itu? Atau kamu pernah menemukan jawabannya?).

Saat ingin menjadi anak baik aku mendapatkan cibiran dan pandangan sinis. Begitu pun saat aku mulai nakal, orang tua, orang-orang sekitar dan banyak teman-teman yang tak rela, mereka mencemaskanku. Mengatasi kebingungan itu, aku mencoba berfikiran ala posmo(dern) (ciiee….) dengan cara merelatifkan banyak hal. Tetapi hal itu juga ternyata menjadikanku tak punya pegangan. Disisi lain aku meyakini seseorang tak akan bisa mendapatkan kebebasan yang sempurna. Saat seseorang ingin melepaskan diri dari ketidakberdayaan yang membelenggunya dengan mencari kebebasan yang lain, sesungguhnya ia pun sedang atau akan terjebak pada ketidakbebasan yang lain. Menurut Jean Paul Sartre memang ada kenyataan yang tak terhindarkan yang membatasi kebebasan seseorang, yakni tempat, lingkungan, masa lalu, orang lain dan kematian.

Apakah jodoh dan rezeki tak merisaukanku? Oh, tentu saja aku merisaukannya. Aku kira tidak hanya aku, tetapi bagi semua orang. Bukankah keduanya—juga kematian—adalah rahasia kehidupan yang paling membingungkan dan susah dicari jawabannya. Tetapi untuk jodoh aku suka bilang sama temanku, kalau seseorang sudah punya pacar atau tunangan, berarti separuh rahasia jodohnya sudah terungkap. Kalau kamu belum punya pacar, kamu boleh mengharapkan dapat jodoh dengan artis atau orang paling menarik di sekitarmu atau di manapun. Karena siapa tahu jadi kenyataan.

Satu hal lagi yang masih menjadi tanda tanya buatku adalah soal masa depan. Siapa yang bisa meramalkan masa depan dirinya? Bahkan seorang Futurolog semacam John Naisbitt atau Marx Slouka mungkin hanya bisa meramalkan hal-hal diluar dirinya. Seperti masa depan negara A, masa depan Teknologi Informasi, masa depan dunia di tahun sekian dan sebagainya. Tetapi aku ragu mereka bisa meramalkan masa depan dirinya sendiri. Kadang aku suka berpikir mau jadi apa dimasa depan, sementara—ironisnya—aku tidak tahu mau jadi apa.

Aku dan Teman-temanku
Menurutku saat yang paling menyenangkan adalah saat bisa berkumpul dengan teman-teman. Bercanda dan merasakan penderitaan bersama-sama. Tetapi hubungan pertemanan tetaplah tidak abadi. Lama kelamaan hubungan merenggang karena dipisahkan jarak dan waktu. Teman-teman mulai pergi menjalani kehidupannya sendiri. Dan di tempat dan waktu lain kita menemukan teman yang baru. Perpisahan dengan seorang teman lebih banyak bersifat alami, tetapi kadang juga karena sebuah penghianatan. Aku sering sedih ketika harus berpisah dengan teman-teman, apalagi tak bisa berkomunikasi lagi. Tapi aku sadar hukum alam memang mengharuskannya demikian. Apakah kita masih bisa berteman sampai lama? Mungkin ya, mungkin juga tidak. Toh kamu dan aku punya jalan kehidupan sendiri. Kelak pasti waktumu akan banyak untuk mengurusi pacarmu atau suamimu dan anak-anakmu. Aku telah menyiapkan sedikit demi sedikit berpisah dengan teman-temanku. Bagiku berteman tidaklah terbatas pada perjumpaan dan komunikasi fisik, selama ia dan aku masih mengingatnya, selama itu pulalah berarti kita masih berteman. Begitu juga denganmu. Mempunyai seorang teman di daerah lain aku merasa punya sense of belonging, sense of solidarity dengan daerah tersebut. Aku memang belum tahu apakah ada orang yang bisa berteman tanpa perlu bertatap muka dalam waktu yang lama.

Dan Pada Akhirnya
Kita jangan terlalu larut dalam kegelisahan yang tak berkesudahan. Karena hal itu akan membuat kita menjadi sinis pada dunia. Marilah kita juga tengok sisi dunia lain yang indah, tapi jangan sampai terlena, karena ada tanggungjawab yang meminta sisi kemanusiaan kita. (Tolong jangan anggap aku sedang menceramahi, dan kalaupun tetap terlihat menceramahi, aku tidaklah bermaksud demikian). Sebagaimana kamu yang sedang (atau selalu) mempertanyakan, Siapa sih sesungguhnya kita? Aku pun demikian? Hanya saja saat ini aku menganggap aku bukanlah siapa-siapa. Bukan apa-apa dibanding ciptaan-Nya yang lain. Tetapi aku tetap ingin menjadi bagian dari manusia yang berarti bagi makhluk yang lain. Aku tetap ingin melakukan hal kebaikan selama aku masih berkesanggupan. Kini aku masih bergumul sendirian, sungguh sangat melelahkan.

Aku sangat terkesan dengan episode kehidupanku sebagai mahasiswa. Karena saat menjadi mahasiswa aku belajar banyak hal, berteman dengan banyak kalangan, yang tentu saja sedikit banyak mengubah pola pikir dan pola sikapku. Kini dipenghujung episode kehidupanku sebagai mahasiswa, aku ingin mulai menghilangkan romantisisme sebagai mahasiswa. Aku harus “turun gunung” menyiapkan "jurus-jurus" untuk menghadapi kehidupan sebenarnya di masyarakat. Tapi aku masih menyisakan tanya, apakah melupakan semua romantisisme itu baik atau tidak. Ataukah aku harus selalu mengingatnya, agar aku bisa berbuat lebih. "Aku kan mantan (aktivis) ini, (aktivis) itu, jadi aku harus berbuat lebih dari yang lain."

Ya, kehidupan memang punya episode-episode tersendiri. Semua orang mengalaminya, meskipun tidak selalu persis sama. Segala yang baru memang selalu terlihat menakutkan. Aku dulu ketika masih di Taman Kanak-kanak (TK) begitu takut ketika disuruh ke depan menyanyikan lagu. tetapi setelah bisa, aku ingin semua orang mau mendengarkan aku bernyanyi—kupu-kupu yang lucu atau bintang kecil. Mungkin episode kehidupanku lebih panjang lagi (semoga). Dan adalah wajar aku was-was untuk episode yang tak bisa diprediksi dimasa depan. Apakah biasa saja, ataukah penuh rintangan dan gelombang yang menghadang. (Bagaimana denganmu?).

Akhir dari Sebuah catatan

Sesungguhnya ketika aku menuliskan persoalan kecil ini kepada seorang teman, apalagi perempuan, aku seperti sedang jatuh cinta. Dengan jatuh cinta, seolah persepsiku berubah terhadap dunia. Dunia lebih indah dari kenyataaannya. Disisi lain aku merasa malu dan tidak enak hati. Karena aku tidak tahu apakah kamu sedang dalam keadaan mood yang baik atau tidak. Aku berfikir apakah menuliskan dan mengirimkan hal ini akan bermanfaat, ataukah hanya wasting time saja. Tidakkah lebih baik kalau akau menuliskannya saja di diary-ku. Tetapi sesungguhnya aku menikmati kegiatan ini. Seolah ketika ada orang lain yang membaca tulisan ini, ada orang lain yang menjadi saksi keberadaanku di dunia ini. Bukankah tragis bila tak ada yang menjadi saksi, terutama saat kematian kita tiba. Benarkan?

Wassalam,
Bumi Ruwai Jurai, Juli-Agustus 2005

Tidak ada komentar: