Senin, 26 Januari 2009

Kebenaran Kita dan Kebenaran Orang Lain

Hati dan pikiran seseorang begitu cepat berubah. Sesuatu yang kecil mampu membuatnya menjadi orang yang paling bodoh atau bisa juga menjadikannya sebagai orang ”besar”. Maka apa yang seseorang lihat, ia dengar dan ia baca akan sangat mempengaruhi kehidupannya dikemudian hari. Sebagaimana kalau kita membaca buku-buku dan tulisan yang katakanlah ”fundamentalis”. Semakin sering dan semakin banyak yang kita baca, maka akan pula membentuk pola pikir dan pespektif kita dalam banyak hal. Dari pola pikir dan perspektif itu akan pula mempengaruhi pola perilaku kita.

Begitupun bila kita kemudian membaca buku-buku ”liberal”—(sekali lagi tanda kutip, untuk menjelaskan maksud yang mungkin bukan sebenarnya), maka hasil yang diperolehnya pun sama ”liberal”-nya. Lalu bagaimana bila kita membaca buku-buku dengan kategori keduanya?

Tentang Pengkhianatan

ADA sebuah ungkapan yang cukup menarik tertulis dalam stiker kecil IMM—Ikatan Mahasiswa Muhamadiyah. Katanya, ”Diam adalah Pengkhianatan”. Tidak jelas apa pengkhianatan semacam apa yang dimaksud dalam kalimat tersebut. Maksud awal dari tulisan tersebut—saya lupa persisnya—adalah ajakan untuk melakukan sebuah gerakan terhadap segala bentuk penindasan. Lagi-lagi menjadi sebuah pertanyaan; penindasan macam apa? Oleh siapa dan kepada siapa penindasan itu? Seandainya penindsan yang dimaksud dilakukan terhadap ”kaum bawah” oleh penguasa, maka pantaslah kita melakukan perlawanan. Namun bagaimana misalnya bila penindasan itu justru dilakukan oleh ”orang bawah” sendiri kepada rekannya yang lain? Atau penindasan dari ”kaum bawah” kepada golongan minoritas yang sedikit punya kuasa?

Minggu, 18 Januari 2009

Belajar Beragama, Belajar Berbuat (Part 2)

Wacana keberagamaan umat saat ini terlihat paradoks. Ada yang mewartakan (ber)agama sebatas gagasan-gagasan ideal ditengah berkecamuknya jaman, di dunia yang saat ini tak bertepi (borderless), dimana pluralitas tak bisa dihindarkan. Satu sisi ada yang mencoba mengenakan baju agama namun seolah menutup mata bahwa realitas sesungguhnya tidak sama dengan apa yang terlihat di sini (berpendar). Sehingga keberagamaannya terasa rapuh, karena kurang berpijak pada realitas.

Ada paradigma yang berusaha melakukan penyesuaian-penyesuaian antara idiom-idiom agama dengan perubahan sosial dan konstelasi politik. Sementara paradigma yang lain bersikeras melakukan ayatisasi-formalistis. Demikian cendikiawan Yudi Latif menggambarkan paradigma pemikiran Islam yang dominan berkembang selama ini. Masing-masing “pengikut setia” alur pemikiran tersebut saling mengklaim kebenaran pemikiran pemikiran mereka. Bahwa akar penyebab keterbelakangan umat Islam adalah kebodohan memahami ajaran agamanya sendiri. Maka kedua kalangan tersebut saling memberikan resep atau jawaban atas keprihatinannya, tentu saja dengan perspektif masing-masing.

Belajar Beragama, Belajar Berbuat (Part 1)

Belajar beragama tidaklah mudah bagi oarang yang telah terbiasa sekalipun tentang agama, apalagi bagi orang yang jarang atau tidak pernah mempelajari tentang agama. (Meskipun bisa saja terjadi sebaliknya). Orang yang beragama mestinya adalah orang yang hidupnya penuh dengan aksi kebajikan. Kehidupannya di dunia memberikan efek positif bagi makhluk di sekitarnya. Walaupun secara kodrati ia berpotensi untuk berbuat kebatilan—karena begitulah sisi negatif manusia. Namun kebatilan yang telah ia lakukan senantiasa ia sesali dan digantikannya dengan amal shaleh. Karena manusia yang baik bukanlah manusia yang tidak pernah melakukan kesalahan, namun apabila ia melkukan kesalahan dengan cepat ia menyesalinya , bertaubat dan ditambalnya dengan amal kebaikan.

Beragama sekarang ini—dan dimasa mendatang—tidak cukup hanya dengan percaya akan adanya Penguasa Kehidupan. Tapi lebih dari itu. Realitas ssial dimana kita tinggal dan di sisi lain di belahan bumi yang sama, mengharuskan sikap aktif-progresif kita untuk meluruskan kepincangan dunia dari kedzaliman, ketamakan dan ketidakadilan. Juga dari moralitas yang menghancurkan. Pelbagai ketimpangan dan kerusakan yang terjadi di bumi ini semestinya menjadikan nurani (sebagai) orang yang beragama merasa terpanggil. Karena jelas, agama diturunkan untuk kedamaian dan keselamatan manusia dan makhluk lain (rahmatan lil’alamiin). Jadi pada saat kita membiarkan kedzaliman terjadi, saat itu pula kita mengkhianati dan meruntuhkan sendi-sendi kepercayaan agama kita.

Dalam ajaran Islam, keyakinan beragama mutlak berpangkal pada prinsip-prinsip tauhid yang melahirkan persaksian (syahadah). Proses penerimaan keyakinan (agama) dan kesadaran tentang Tuhan selayaknya melahirkan internalisasi yang sempurna antara kesadaran intelektual dan kesadaran spiritual sekaligus.

Sejarah dan Masa Depan


Sejarah senantiasa berputar. Kehidupan adalah pengulangan-pengulangan semata. Dari yang ada menjadi tiada. Dari yang mulanya tiada menjadi ada. Hanya pelaku atau subyeknya saja yang berbeda. Begitulah (ke)hidup(an), selalu berputar, sampai tiba waktunya segala sesuatunya berhenti sama sekali. Pelaku kejahatan akan senantiasa bertarung dengan pelaku kebajikan. Penyeru kemungkaran akan berpacu, berlomba mengalahkan para pendakwah, ataupun sebaliknya.

Karena gerak roda sejarah adalah senantiasa berputar namun “statis”—karena sekali lagi hanya pengulangan saja,—maka sebenarnya “masa depan” adalah sesuatu yang sangat mungkin untuk diprediksikan atau diterka kebenarannya.