Sabtu, 05 Desember 2009

Dan kita tak tahu sedang apa

Suatu saat

Di suatu tempat

Suatu peristiwa

Dan kita tak tahu sedang apa kita saat itu.


Jakarta, 2009

Sore Hari, Suatu Tempat

sore ini aku masih di sini
di antara lembut dan kerasnya angin conditioner
aku rindu angin alam yang selalu membelai nyiur

Lampung, 05 Desember 2009

Rabu, 02 September 2009

Sebuah Isyarat

dalam tarikan nafas
selalu hadir sebuah pesan
tentang sesuatu yang kemarin
dan akan datang
tetapi tidak tentang saat ini

dalam setiap detak jantung
isyarat itu adalah niscaya
tentang kematian juga kehidupan
kehidupan adalah gerak
dan gerak pastilah tidak selamanya

Lampung, 09 Desember 2004

Siluet Senja

ombak dan pantai
merah
jingga
lampu jalan dan desir angin
lembut
semua indah
meski banyak yang melupakan-Mu

Losari, Makassar 04 Oktober 2004

Pagi di Laut Pare-Pare

di tepi pantai seberang jalan raya
aku memanggilmu dengan cemas
karena aku peduli denganmu
aku ingin mengatakannya
dengan embun pagi
di tepi laut

Pare-Pare, 02 Oktober 2004
12.30 WITA

Di Bus Kota, Pagi Hari

dingin air contioner di atas langit-langit bus kota
yang kita naiki
menghembuskan satu keraguan
tentang apa dan siapa kita
mungkin kita salah mengenali
tetapi satu tanda itu mengingatkanku

Jakarta, Desember 2005

Sore Hari di Tepi Jakarta

satu kata harus diputuskan
satu mesti ditunaikan
satu waktu harus dilupakan
dan satu nama mesti dilupakan;
tetapi tidak untuk satu cerita

-d.a.t-
Jakarta, 26 Desember 2004

Pasca Tsunami

malam selalu gelisah dalam gelap seperti aku di sini

dan kau mungkin sedang bercanda
saat ombak kau gulung
sebab aku meninggalkanmu
atau kau ingin menghukumku

Jakarta, 31 Desember 2004

Lukisan di Tamalanrea

dalam perjalanan yang lambat
di jalanan tamalanrea
aku tak merasakan keindahan senja
tapi aku berharap akan ada keindahan lain
yang membiru
dalam ruang gelap petang itu
ada warna biru bertebaran
di bajuku di bajumu
di sekitarku disekitarmu
kini warna biru itu tertetesi warna hitam yang pekat
dan aku melukisnya di tamalanrea
dengan warna itu

Makassar, September 2004

Revolusi Hari Minggu

hari adalah penanda yang tak pasti
tentang gerak waktu dan kita
tetapi karena ketidakpastian itu pasti
maka kita membutuhkannya
sebagai penanda, tak lebih

saat gerak meninggalkan diam yang beku
maka itulah revolusi
revolusi pagi atas malam
revolusi terang atas gelap
di sini hari menjadi penanda revolusi
dan revousi itu ada pada hari minggu
sebab kebekuan terpecahkan
sebab kebiasaan dilawan

Lampung, Minggu 12 Desember 2004

Akhir Pertemuan

tersenyumlah sahabat
sebab aku tahu kau berduka
bernyanyilah selagi tersisa waktu
berdustalah pada alam tentang kesetiaan
di sini rumput tak lagi hijau
air pun tak jernih
hanya malam yang tahu pasti
juga rembulan yang malam itu tak begitu terang
tentang arti pertemuan

Makassar-Surabaya, 07 Juli 2004

Di kotamu malam itu

di kotamu malam itu tak bersahabat
di kursi yang pudar aku rebah
dengan mata yang tak bisa terpejam
sebab malam memang tak bersahabat
kucoba menghadirkanmu
agar hilang semua gelisahku
sayang, aku tak bisa
mataku terlalu sulit terpejam
di kotamu malam itu menjadi kenangan
sebuah malam yang tak menyenangkan

surabaya kota, 07 juli 2004

Aku Selalu Jatuh Hati Di Sana

disepanjang jalan, di mana pun tempat
diantara benda-benda yang terlihat berlari
kulihat ada beribu wajah
yang berbeda dilain hari
di sana, di tepi jalan itu setiap hari
aku selalu jatuh hati
pada benda-benda yang terlihat berlari
dan pada yang lain

Lampung, Juli 2004

Selasa, 21 Juli 2009

Dari Sebuah Nama

Aku pernah merasakan kesendirian itu, nay
Di depan sebuah etalase kukagumi bayangan kemewahan
Dua orang wanita tua mendekatiku dan bertanya dari mana
Ku sebutkan sebuah negeri jauh dan miskin
Tapi mereka segera beringsut karena tahu
Aku menginap disebuah hotel mewah
Inikah ironi?

-DRH-
2009

Sabtu, 04 Juli 2009

Membakar surat itu...

Membakar surat itu rasanya sangat menyedihkan, apalagi ari seorang sahabat. Karena mungkin aku tidak akan mendapatkan surat seperti itu lagi. Sebagaimana diketahui saat ini rasanya surat kertas seperti benda antik dan kuno. Sampai-sampai seseorang merasa malu untuk membuat dan mengirimkannya. Kalau kata Pramudya, membakar sampah itu seperti revolusi (atau revolusi itu seperti membakar sampah?, karena bukan hanya melupakan tapi melenyapkan dan memusnahkan, setelah itu perasaan kita akan lega. Mungkinkah membakar surat sahabat itu seperti revolusi? Tapi memang saya harus membakarnya.

-03 Juni 2009

Surat untuk Sahabat


SOAL e-mailmu yang kau kirimkan beberapa waktu yang lalu rasanya tak etis kalau aku juga tak membalasnya. Sebenarnya memang bukan persoalan etis atau tidak etis, tapi mungkin persoalan penghargaan. Aku sangat menghargai (tulisan) seorang teman, dan aku tak ingin mengecewakannya. By the way, dalam dialog singkat kita lewat sms (short message service--pen), kita (tepatnya aku) pernah mengatakan soal tulisan yang tak ABG atau dewasa. Setelah aku pikir-pikir cukup merepotkan. Kenapa? Dewasa itu seperti apa sih? Apakah dewasa itu terukur? Oleh apa? Pikiran? Tingkah laku? Apakah dewasa berlaku sama untuk semua orang? Maksudnya, apakah saat aku berfikir dan bertindak yang menurut orang lain dikatakan dewasa, apakah ketika orang lain melakukan hal yang sama ia juga dikatakan dewasa?

Soal kedewasaan aku sangat terkesan dengan film "Undercover Girl". Seorang gadis kecil dalam film itu dalam banyak hal menurutku lebih berfikir dewasa dari pada ibunya yang wanita karir, atau dari Babysitter-nya yang juga seorang penulis (gagal?). Dalam buku "Gadis Kecil di Tepi Jendela" karya Tetsuko Kuronayagi pun demikian. Si Toto Chan mampu bertindak dewasa dari pada orang yang lebih tua. Jadi dewasa itu seperti apa?

Minggu, 10 Mei 2009

MUSE, The Rock Band


Senang rasanya bisa mendengarkan lagu Strarlight atau Kight Of Cydonia, juga Assasin-nya Muse. Apalagi duduk dan pose bersama Muse. Lagu-lagunya melodious and nuansamatik biyaangeeet... Gak percaya? dengarin aja...

Senin, 27 April 2009

Cerita tentang buku dan kita


BERAPA buku yang dihasilkan Indonesia tiap tahun? Sumber dari Kompas Menyebutkan hanya sekitar 2000 judul buku saja. Bandingkan dengan negara tetangga Thailand yang mampu menerbitkan sampai 6000 hingga 8000 judul buku. Hitung juga berapa jumlah buku yang dicetak tiap judulnya? Tak lebih baik dari sebuah kaset Indie. Belum lagi kalau harus menghitung berapa buku yang dicetak tersebut dibaca orang. Saya kira prosentasenya lebih kecil lagi. Adapun separuh lebih buku-buku yang ada di negeri ini adalah buku hasil terjemahan. Yang juga sama ironisnya, tidak dibaca orang.

Tentang sebuah buku terjemahan, Jacob Oetama bercerita. Bos grup Kompas-Gramedia ini bertutur tentang novel populer di seluruh dunia, yang juga diangkat ke layar lebar,—yang sama-sama digemari dan masuk kategori Box-office—buku tersebut adalah buku Harry Potter karya J. K. Rowling. Jacob ikut bangga ketika buku Harry Potter jilid pertama yang dicetak Gramedia mampu terjual 15.000 eksemplar. Dan untuk cetak ulang yang kedua juga mampu terjual 15.000 eksemplar. Begitula informasi yang ia dapatkan dari salah seorang editor penerbit Gramedia. Tetapi ia sempat terkaget ketika “anak buahnya” menambahkan informasi, bahwa di Thailand Harry Potter mampu tercetak 100.000 eksemplar—itupun untuk cetakan pertama. Di Taiwan setelah dicetak berulang kali sampai 300.000 eksemplar. Begitu juga di Australia tercetak rata-rata 200.000 eksemplar untuk jilid 1, 2 dan 3.

Membaca buku adalah ibadah


MEMBACA buku adalah ibadah. Itulah kesimpulan yang dapat saya ambil ketika membaca, memaknai dan mengambil hikmah dari membaca QS. Al-‘Alaq. Sebuah pembacaan dengan sangat sederhana. Dalam ayat yang diturunkan pertama kepada Nabi Muhammad tersebut, kalimat yang juga pertama adalah “Bacalah”. Membaca memang tidak hanya pada sesuatu yang literal atau tekstual saja, tetapi juga menangkap makna dari hal-hal di luar konteks, dan bahkan lebih luas lagi. Misalkan membaca tanda-tanda kebesaran Tuhan. Karena ada perintah dari teks suci untuk membaca, maka membaca buku—sebagai bagian dari membaca yang sederhana,—adalah juga ibadah. Sebagaimana membuang duri dari jalan yang juga menjadi bagian dari cabang iman,—meskipun paling kecil.

Kau dan Cerpenmu; Ketika Aku Dipaksa Bicara

Pengantar: Tulisan ini adalah sebuah yang secara tak sengaja aku temukan di file yang lama tak aku buka. Awalnya tersimpan dalam forman CD-R/W. Tulisan ini adalah sebuah “obrolanku” dengan seorang kawan. Saya kira hanya kawan yang bersangkutanlah yang mengerti akan tulisan ini (kalau masih ingat). Sebagai kenang-kenangan dan juga karena sayang kalau di delete, maka lebih baik aku posting saja. Jika saudara/i, tuan dan puan mau membaca silahkan saja, mungkin ada manfaatnya.
===
KETIKA aku diminta untuk mengkritik, mengomentari atau apapun namanya untuk sebuah cerpenmu, aku sudah berpikiran ragu sebelumnya, dan sebenarnya sedikit malu. Kenapa? Karena aku sendiri toh tidak bisa membuat cerpen. Aku pernah membuat cerpen dua buah, tapi satunya hilang ketika sebelum sempat di print out. Satunya masih tersimpan di kamar tapi entah di mana. Tentu saja dua cerpenku itu adalah karya perdana yang tidak ada bagusnya mungkin, tapi cukup berkesan lho membuatnya, ada sebuah pengalaman batin di dalamnya. Tapi oke deh, karena mengomentari orang lain toh pada dasarnya mengomentari diri sendiri. Mengkritik orang lain juga mengkritik diri sendiri. Kamu jangan merasa dikritik, anggap itu juga kritik buatku. Sebenarnya kritik ini punyaku hanya saja kamu boleh baca, itu saja.

Buku (Apa) yang Kita Baca?


SEORANG teman—perempuan—pernah beberapa kali memintaku untuk menyebutkan sebuah judul buku yang aku suka, atau menyebutkan buku yang menurutku sebaiknya dia baca. Kemudian dia berjanji akan membacanya atau sekaligus membelinya jika punya uang. Karena tampaknya dia ingin berdiskusi denganku maka aku menyarankan saja untuk membeli buku yang sudah kumiliki, jadi tidak akan merepotkan jika harus berdiskusi dengannya. Karena aku dan dia (telah) membaca buku yang sama. Aku pikir-pikir rupanya aku disuruhnya untuk mengetes kemampuannya. Mungkian dia mau sedikit menyombongkan kehebatan daya ingatnya padaku, ini sih cuma pikiranku saja. So, aku suruh dia untuk mencari buku “Jejak Posmodernisme di Indonesia” karya Radhar Panca Dahana.

Beberapa hari kemudian…

Senin, 26 Januari 2009

Kebenaran Kita dan Kebenaran Orang Lain

Hati dan pikiran seseorang begitu cepat berubah. Sesuatu yang kecil mampu membuatnya menjadi orang yang paling bodoh atau bisa juga menjadikannya sebagai orang ”besar”. Maka apa yang seseorang lihat, ia dengar dan ia baca akan sangat mempengaruhi kehidupannya dikemudian hari. Sebagaimana kalau kita membaca buku-buku dan tulisan yang katakanlah ”fundamentalis”. Semakin sering dan semakin banyak yang kita baca, maka akan pula membentuk pola pikir dan pespektif kita dalam banyak hal. Dari pola pikir dan perspektif itu akan pula mempengaruhi pola perilaku kita.

Begitupun bila kita kemudian membaca buku-buku ”liberal”—(sekali lagi tanda kutip, untuk menjelaskan maksud yang mungkin bukan sebenarnya), maka hasil yang diperolehnya pun sama ”liberal”-nya. Lalu bagaimana bila kita membaca buku-buku dengan kategori keduanya?

Tentang Pengkhianatan

ADA sebuah ungkapan yang cukup menarik tertulis dalam stiker kecil IMM—Ikatan Mahasiswa Muhamadiyah. Katanya, ”Diam adalah Pengkhianatan”. Tidak jelas apa pengkhianatan semacam apa yang dimaksud dalam kalimat tersebut. Maksud awal dari tulisan tersebut—saya lupa persisnya—adalah ajakan untuk melakukan sebuah gerakan terhadap segala bentuk penindasan. Lagi-lagi menjadi sebuah pertanyaan; penindasan macam apa? Oleh siapa dan kepada siapa penindasan itu? Seandainya penindsan yang dimaksud dilakukan terhadap ”kaum bawah” oleh penguasa, maka pantaslah kita melakukan perlawanan. Namun bagaimana misalnya bila penindasan itu justru dilakukan oleh ”orang bawah” sendiri kepada rekannya yang lain? Atau penindasan dari ”kaum bawah” kepada golongan minoritas yang sedikit punya kuasa?

Minggu, 18 Januari 2009

Belajar Beragama, Belajar Berbuat (Part 2)

Wacana keberagamaan umat saat ini terlihat paradoks. Ada yang mewartakan (ber)agama sebatas gagasan-gagasan ideal ditengah berkecamuknya jaman, di dunia yang saat ini tak bertepi (borderless), dimana pluralitas tak bisa dihindarkan. Satu sisi ada yang mencoba mengenakan baju agama namun seolah menutup mata bahwa realitas sesungguhnya tidak sama dengan apa yang terlihat di sini (berpendar). Sehingga keberagamaannya terasa rapuh, karena kurang berpijak pada realitas.

Ada paradigma yang berusaha melakukan penyesuaian-penyesuaian antara idiom-idiom agama dengan perubahan sosial dan konstelasi politik. Sementara paradigma yang lain bersikeras melakukan ayatisasi-formalistis. Demikian cendikiawan Yudi Latif menggambarkan paradigma pemikiran Islam yang dominan berkembang selama ini. Masing-masing “pengikut setia” alur pemikiran tersebut saling mengklaim kebenaran pemikiran pemikiran mereka. Bahwa akar penyebab keterbelakangan umat Islam adalah kebodohan memahami ajaran agamanya sendiri. Maka kedua kalangan tersebut saling memberikan resep atau jawaban atas keprihatinannya, tentu saja dengan perspektif masing-masing.

Belajar Beragama, Belajar Berbuat (Part 1)

Belajar beragama tidaklah mudah bagi oarang yang telah terbiasa sekalipun tentang agama, apalagi bagi orang yang jarang atau tidak pernah mempelajari tentang agama. (Meskipun bisa saja terjadi sebaliknya). Orang yang beragama mestinya adalah orang yang hidupnya penuh dengan aksi kebajikan. Kehidupannya di dunia memberikan efek positif bagi makhluk di sekitarnya. Walaupun secara kodrati ia berpotensi untuk berbuat kebatilan—karena begitulah sisi negatif manusia. Namun kebatilan yang telah ia lakukan senantiasa ia sesali dan digantikannya dengan amal shaleh. Karena manusia yang baik bukanlah manusia yang tidak pernah melakukan kesalahan, namun apabila ia melkukan kesalahan dengan cepat ia menyesalinya , bertaubat dan ditambalnya dengan amal kebaikan.

Beragama sekarang ini—dan dimasa mendatang—tidak cukup hanya dengan percaya akan adanya Penguasa Kehidupan. Tapi lebih dari itu. Realitas ssial dimana kita tinggal dan di sisi lain di belahan bumi yang sama, mengharuskan sikap aktif-progresif kita untuk meluruskan kepincangan dunia dari kedzaliman, ketamakan dan ketidakadilan. Juga dari moralitas yang menghancurkan. Pelbagai ketimpangan dan kerusakan yang terjadi di bumi ini semestinya menjadikan nurani (sebagai) orang yang beragama merasa terpanggil. Karena jelas, agama diturunkan untuk kedamaian dan keselamatan manusia dan makhluk lain (rahmatan lil’alamiin). Jadi pada saat kita membiarkan kedzaliman terjadi, saat itu pula kita mengkhianati dan meruntuhkan sendi-sendi kepercayaan agama kita.

Dalam ajaran Islam, keyakinan beragama mutlak berpangkal pada prinsip-prinsip tauhid yang melahirkan persaksian (syahadah). Proses penerimaan keyakinan (agama) dan kesadaran tentang Tuhan selayaknya melahirkan internalisasi yang sempurna antara kesadaran intelektual dan kesadaran spiritual sekaligus.

Sejarah dan Masa Depan


Sejarah senantiasa berputar. Kehidupan adalah pengulangan-pengulangan semata. Dari yang ada menjadi tiada. Dari yang mulanya tiada menjadi ada. Hanya pelaku atau subyeknya saja yang berbeda. Begitulah (ke)hidup(an), selalu berputar, sampai tiba waktunya segala sesuatunya berhenti sama sekali. Pelaku kejahatan akan senantiasa bertarung dengan pelaku kebajikan. Penyeru kemungkaran akan berpacu, berlomba mengalahkan para pendakwah, ataupun sebaliknya.

Karena gerak roda sejarah adalah senantiasa berputar namun “statis”—karena sekali lagi hanya pengulangan saja,—maka sebenarnya “masa depan” adalah sesuatu yang sangat mungkin untuk diprediksikan atau diterka kebenarannya.